TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI
SATU
“Allah itu adalah
keadaanku, kenapa kawan-kawan pada memakai penghalang? Sesungguhnya aku inilah
haq Allah pun tiada wujud dua, nanti Allah sekarang Allah, tetap dzahir batin
Allah, kenapa kawan-kawan masih memakai pelindung?” (Babad Tanah Sunda,
Sulaeman Sulendraningrat, 1982, bagian XLIII).
Ucapan spiritual Syekh
Siti Jenar tersebut diucapkan pada saat para wali menghendaki diskusi yang
membahas masalah Micara Ilmu tanpa Tedeng Aling-aling. Diskusi para wali
diadakan setelah Dewan Walisanga mendengar bahwa Syekh Siti Jenar mulai
mengajarkan ilmu ma’rifat dan hakikat. Sementara dalam tugas resmi yang
diberikan oleh Dewan Walisanga hanya diberi kewenangan mengajarkan syahadat dan
tauhid. Sementara menurut Syekh Siti Jenar justru inti paling mendasar tentang
tauhid adalah manunggal, di mana seluruh ciptaan pasti akan kembali menyatu
dengan yang menciptakan.
Pada saat itu, Sunan
Gunung Jati mengemukakan, “Adapun Allah itu adalah yang berwujud haq”; Sunan
Giri berpendapat, “Allah itu adalah jauhnya tanpa batas, dekatnya tanpa
rabaan.”; Sunan Bonang berkata, “Allah itu tidak berwarna, tidak berupa, tidak
berarah, tidak bertempat, tidak berbahasa, tidak bersuara, wajib adanya,
mustahil tidak adanya.”; Sunan Kalijaga menyatakan, “Allah itu adalah seumpama
memainkan wayang.”; Syekh Maghribi berkata, “Allah itu meliputi segala
sesuatu.”; Syekh Majagung menyatakan, “Allah itu bukan disana atau disitu,
tetapi ini.”; Syekh Bentong menyuarakan, “Allah itu itu bukan disana sini, ya
inilah.”; Setelah ungkapan Syekh Bentong inilah, tiba giliran Syekh Siti Jenar
dan mengungkapkan konsep dasar teologinya di atas. Hanya saja ungkapan Syekh
Siti Jenar tersebut ditanggapi dengan keras oleh Sunan Kudus, yang salah menangkap
makna ungkapan mistik tersebut, “Jangan suka terlanjur bahasa menurut pendapat
hamba adapun Allah itu tidak bersekutu dengan sesama.”
Mulai persidangan itulah
hubungan Syekh Siti Jenar dengan para wali memanas, sebab Syekh Siti Jenar
tetap teguh pada pendirian tauhid sejatinya. Sementara para Dewan Wali
mengikuti madzhab resmi yang digariskan oleh kerajaan Demak, Sunni-Syafi’i.
Sampai masa persidangan penentuannya, Syekh Siti Jenar tetap menyuarakan dengan
lantang teologi manunggalnya bahwa, “Utawi Allah iku nyataning sun kang
sampurna kang tetep ing dalem dhohir batin,” (bahwa Allah itu nyatanya aku yang
sempurna yang tetap di dalam dzahir dan batin) . Riwayat yang agak sama juga
tercantum dalam Babad Cerbon, terbitan Brandes (1911) pada Pupuh 23, Kinanti
bait 1-8.
DUA
“Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain dari Tuhan yang Mahakuasa, ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan.” (S. Soebardi, The Book of ebolek, hlm. 103).
“Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain dari Tuhan yang Mahakuasa, ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan.” (S. Soebardi, The Book of ebolek, hlm. 103).
Menurut beberapa sumber,
di antaranya Soebardi (1975), beberapa saat setelah Syekh Siti Jenar wafat,
para wali mendengar suara yang berasal dari roh Syekh Siti Jenar yang berupa
ungkapan mistik tersebut. Ungkapan mistik itu merupakan ungkapan terakhir dari
sang sufi sebagai bukti bahwa sampai sesudah wafatnya, dia memperoleh apa yang
diinginkannya, dan menjadi bukti kebenaran ajarannya, yakni kehidupan sejati
dalam kesatuan; manunggaling kawula-Gusti.
TIGA
“… tidak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun inilah Allah. Nyata Ingsun Yang Sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak ada lain kesejatiannya, yang disebut sebangsa Allah…” (R. Tanoyo: Walisanga, hlm. 124)
“… tidak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun inilah Allah. Nyata Ingsun Yang Sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak ada lain kesejatiannya, yang disebut sebangsa Allah…” (R. Tanoyo: Walisanga, hlm. 124)
Maksud bebas ungkapan
tersebut adalah “tidak usah kebanyakan bicara tentang teori ketuhanan,
sesungguhnya ingsun (aku sejati) inilah Allah. Yaitu Ingsun (Kedirian) Yang
Sejati, juga bergelar Prabu Satmata (Tuhan Yang Maha Melihat, mengetahui
segala-galanya), dan tidak boleh ada yang lain yang penyebutannya mengarah
kepada Allah sebagai Tuhan”.
EMPAT
“Mungguh sajatine ananing zdat kang sanyata iku muhung ana anteping tekat kita, tandhane ora ana apa-apa, ananging kudu dadi sabarang sedya kita kang satuhu” [Sebenarnya, keberadaan dzat yang nyata itu hanya berada pada mantapnya tekad kita, tandanya tidak ada apa-apa, akan tetapi harus menjadi segala niat kita yang sungguh-sungguh]. (Serat Candhakipun Riwayat Jati, hlm. 1).
“Mungguh sajatine ananing zdat kang sanyata iku muhung ana anteping tekat kita, tandhane ora ana apa-apa, ananging kudu dadi sabarang sedya kita kang satuhu” [Sebenarnya, keberadaan dzat yang nyata itu hanya berada pada mantapnya tekad kita, tandanya tidak ada apa-apa, akan tetapi harus menjadi segala niat kita yang sungguh-sungguh]. (Serat Candhakipun Riwayat Jati, hlm. 1).
Menurut Syekh Siti Jenar,
keberadaan dzat hanya ada beserta kemantapan hati dalam merengkuh Tuhan. Dalam
diri tidak ada apa-apa kecuali menjadikan menunggal sebagai niat dan yang
mewarnai segala hal yang berhubungan dengan asma, sifat dan af’al Pribadi.
Inilah di antara maksud utama ungkapan di atas. Jadi pemahaman atas ungkapan
itu harus tetap berada dalam lingkup kemanunggalan. Kemanunggalan tidak akan berhasil
jika hanya mengandalkan perangkat syari’at dan tarekat. Apalagi sekedar
syari’at lahiriyah (nominal). Kemanunggalan akan berhasil seiring dengan tekad
hati dan keseluruhan Pribadi dalam merengkuh Allah, sebagaimana roh Allah pada
awalnya ditiupkan atas setiap pribadi manusia.
LIMA
“…marilah kita berbicara dengan terus terang. Aku ini Allah. Akulah yang sebenarnya disebut Prabu Satmata, tidak ada lain yang bernama Allah…saya menyampaikan ilmu tertinggi yang membahas ketunggalan. Ini bukan badan, selamanya bukan, karena badan tidak ada. Yang kita bicarakan ialah ilmu sejati dan untuk semua orang kita membuka tabir [artinya membuka rahasia yang paling tersembunyi.]” (Serat Siti Jenar Asmarandana, hlm. 15, bait 20-22).
ENAM
“Tidak usah banyak tingkah, saya inilah Tuhan, Ya, betul-betul saya ini adalah Tuhan yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa tidak ada bangsa Tuhan yang lain selain saya. …. Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan adanya kemanunggalan. Sedangkan bangkai itu selamanya kan tidak ada. Adapun yang dibicarakan sekarang ini adalah ilmu yang sejati yang dapat membuka tabir kehidupan. Dan lagi, semuanya sama. Sudah tidak ada tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar tidak ada perbedaan lagi. Jika ada perbedaan yang bagaimanapun, saya akan tetap mempertahankan tegaknya ilmu tersebut.” (Boekoe Siti Djenar, Tan Khoen Swie, hlm. 18-20).
“…marilah kita berbicara dengan terus terang. Aku ini Allah. Akulah yang sebenarnya disebut Prabu Satmata, tidak ada lain yang bernama Allah…saya menyampaikan ilmu tertinggi yang membahas ketunggalan. Ini bukan badan, selamanya bukan, karena badan tidak ada. Yang kita bicarakan ialah ilmu sejati dan untuk semua orang kita membuka tabir [artinya membuka rahasia yang paling tersembunyi.]” (Serat Siti Jenar Asmarandana, hlm. 15, bait 20-22).
ENAM
“Tidak usah banyak tingkah, saya inilah Tuhan, Ya, betul-betul saya ini adalah Tuhan yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa tidak ada bangsa Tuhan yang lain selain saya. …. Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan adanya kemanunggalan. Sedangkan bangkai itu selamanya kan tidak ada. Adapun yang dibicarakan sekarang ini adalah ilmu yang sejati yang dapat membuka tabir kehidupan. Dan lagi, semuanya sama. Sudah tidak ada tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar tidak ada perbedaan lagi. Jika ada perbedaan yang bagaimanapun, saya akan tetap mempertahankan tegaknya ilmu tersebut.” (Boekoe Siti Djenar, Tan Khoen Swie, hlm. 18-20).
TUJUH
“Jika Anda menanyakan dimana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit. Allah berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam tubuh. Tetapi hanya orang yang terpilih yang bisa melihatnya, yaitu orang yang suci.” (Suluk Wali Sanga, R. Tanaja, hlm. 42-46).
“Jika Anda menanyakan dimana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit. Allah berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam tubuh. Tetapi hanya orang yang terpilih yang bisa melihatnya, yaitu orang yang suci.” (Suluk Wali Sanga, R. Tanaja, hlm. 42-46).
Ungkapan no. 5, 6, dan 7.
Dinyatakan dalam sidang para wali yang dipimpin oleh Sunan Giri bertempat di Giri Kedaton. Penjelasan Syekh Siti Jenar bahwa dirinya bukan badan menanggapi pernyataan Maulana Maghribi yang bertanya, “Tetapi yang kau tunjukkan itu hanya badan.” Syekh Siti Jenar menyampaikan ajaran “ingsun” yang dikemukakan secara radikal, yang mengajarkan kesamaan tuntas antara san pembicara dengan Allah. Ini sebagai efek dari berbagai pengalaman spiritualnya yang demikian tinggi, sehingga Manunggaling Kawula-Gusti juga meniscayakan adanya manunggalnya kalam (pembicaraan, sabda, firman). Adapun gelar Prabu Satmata memilki makna sama dengan Hyang Manon atau Yang Maha Tahu. Gelar tersebut juga diberikan kepada para Walisanga kepada Sunan Giri. Nampak bahwa Syekh Siti Jenar memiliki pendirian tegas, bahwa ilmu spiritual harus diajarkan kepada semua orang. Karena justru dengan membuka tabir itulah, orang akan mengetahui hakikat kehidupan dan rahasia hidupnya.
Dinyatakan dalam sidang para wali yang dipimpin oleh Sunan Giri bertempat di Giri Kedaton. Penjelasan Syekh Siti Jenar bahwa dirinya bukan badan menanggapi pernyataan Maulana Maghribi yang bertanya, “Tetapi yang kau tunjukkan itu hanya badan.” Syekh Siti Jenar menyampaikan ajaran “ingsun” yang dikemukakan secara radikal, yang mengajarkan kesamaan tuntas antara san pembicara dengan Allah. Ini sebagai efek dari berbagai pengalaman spiritualnya yang demikian tinggi, sehingga Manunggaling Kawula-Gusti juga meniscayakan adanya manunggalnya kalam (pembicaraan, sabda, firman). Adapun gelar Prabu Satmata memilki makna sama dengan Hyang Manon atau Yang Maha Tahu. Gelar tersebut juga diberikan kepada para Walisanga kepada Sunan Giri. Nampak bahwa Syekh Siti Jenar memiliki pendirian tegas, bahwa ilmu spiritual harus diajarkan kepada semua orang. Karena justru dengan membuka tabir itulah, orang akan mengetahui hakikat kehidupan dan rahasia hidupnya.
DELAPAN
“Syekh Lemah Abang namaku, Rasulullah ya aku, Muhammad ya aku, Asma Allah itu sesungguhnya diriku; ya Akulah yang menjadi Allah ta’ala.” (Wawacan Sunan Gunung Jati terbitan Emon Suryaatmana dan T.D. Sudjana, Pupuh 38 Sinom, bait 13).
“Syekh Lemah Abang namaku, Rasulullah ya aku, Muhammad ya aku, Asma Allah itu sesungguhnya diriku; ya Akulah yang menjadi Allah ta’ala.” (Wawacan Sunan Gunung Jati terbitan Emon Suryaatmana dan T.D. Sudjana, Pupuh 38 Sinom, bait 13).
Ungkapan mistik Syekh
Siti Jenar tersebut menunjukkan, bahwa dalam teologi manunggaling kawula-Gusti,
tidak hanya terjadi proses kefanaan antara hamba dan pencipta sebagaimana apa
yang dialami oleh Bayazid al-Bustami dan Manshur al-Hallaj. Dalam kasus
pengalaman mistik Syekh Siti Jenar, antara syahadat Rasul dan syahadat Tauhid
ikut larut dalam kefanaan.
Sehingga dalam pengalaman
mistik manunggal ini, terjadi kemanunggalan diri, Rasul dan Tuhan. Suatu titik
puncak pengalaman spiritual, yang sudah dialami oleh para ulama sufi sejak abad
ke-9, yakni sejak fana’nya Bayazid al-Busthami, Junaid al-Baghdadi, “ana
al-Haqq”-nya Manshur al-Hallaj, juga ‘Aynul Quddat al-Hamadani, dan Syaikh
al-Isyraq Syuhrawardi al-Maqtul, dan akhirnya menemukan titik kulminasinya pada
teologi Manunggaling Kawula-Gusti Syekh Siti Jenar.
SEMBILAN
“Sesungguhnyalah, Lapal Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan tiada tampak, membingungkan orang, karena diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri pribadinya yang sejati, sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama Allah itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan yang dipuja dan menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbuhkan menjadi kalimat yang diucapkan: “Muhammad Rasulullah”. Padahal sifat kafir berwatak jisim, yang akan membusuk, hancur lebur bercampur tanah.” “Lain jika kita sejiwa dengan Zat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani, naha sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu Pangeran saya, yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpitan, bukan budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula kehendak tanpa tujuan.” “Dia itu yang bersatu padu menjadi wujud saya. Tiada susah payah, kodrat dan kehendak-Nya, pergi ke mana saja tiada haus, tiada lelah tanpa penderitaan dan tiada lapar. Kekuasan-Nya dan kemampuan-Nya tiada kenal rintangan, sehingga pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya kearif-bijaksanaan tanpa saya ketahui keluar dan masuk-Nya, tahu-tahu saya menjumpai Ia sudah ada disana”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sastrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 45-48).
“Sesungguhnyalah, Lapal Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan tiada tampak, membingungkan orang, karena diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri pribadinya yang sejati, sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama Allah itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan yang dipuja dan menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbuhkan menjadi kalimat yang diucapkan: “Muhammad Rasulullah”. Padahal sifat kafir berwatak jisim, yang akan membusuk, hancur lebur bercampur tanah.” “Lain jika kita sejiwa dengan Zat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani, naha sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu Pangeran saya, yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpitan, bukan budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula kehendak tanpa tujuan.” “Dia itu yang bersatu padu menjadi wujud saya. Tiada susah payah, kodrat dan kehendak-Nya, pergi ke mana saja tiada haus, tiada lelah tanpa penderitaan dan tiada lapar. Kekuasan-Nya dan kemampuan-Nya tiada kenal rintangan, sehingga pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya kearif-bijaksanaan tanpa saya ketahui keluar dan masuk-Nya, tahu-tahu saya menjumpai Ia sudah ada disana”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sastrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 45-48).
Pernyataan di atas adalah
tafsir sederhana dari sasahidan yang menjadi intisari ajaran Syekh Siti Jenar,
dan landasan mistik teologi kemanunggalan. Kalimah syahadat yang hanya
diucapkan dengan lisan dan hanya dihiasi dengan perangkat kerja fisik
(pelaksanaan fiqih Islam dengan tanpa aplikasi spiritual), hakikatnya adalah
kebohongan. Pelaksanaan aspek fisik keagamaan yang tidak disertai dengan
implikasi kemanunggalan roh, sebenarnya jiwa orang itu mencuri, yakni mencuri dari
perhatiannya kepada aspek Allah dalam diri. Itulah sebenar-benarnya munafik
dalam tinjauan batin, dan fasik dalam kacamata lahir. Sebab manusia sebagai
khalifah-Nya adalah cermin Ilahiyah yang harus menampak kepada seluruh alam.
Sebagai alatnya adalah kemanunggalan wujudiyah sebagaimana terdapat dalam
Sasahidan. Terdapat kesatupaduan antara Allah, Rasul dan manusia. Masing-masing
bukanlah sesuatu yang saling asing mengasingkan.
Kesejatian Hidup dan
Kehidupan
SEPULUH.
“Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian hidup, engkau sejatinnya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni wujud (yang berbentuk) itu sejatinya Allah, sir (rahsa=rahasia) itu Rasulullah, lisan (pangucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian Allah, ya ingsun (aku) ini sejatinya Allah.” (Wejangan Walisanga: hlm. 5).
“Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian hidup, engkau sejatinnya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni wujud (yang berbentuk) itu sejatinya Allah, sir (rahsa=rahasia) itu Rasulullah, lisan (pangucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian Allah, ya ingsun (aku) ini sejatinya Allah.” (Wejangan Walisanga: hlm. 5).
Subtansi dari ungkapan
spiritual tersebut adalah bahwa kesejatian hidup, rahasia kehidupan hanya ada
pada pengalaman kemanunggalan antara kawula-Gusti. Dan dalam tataran atau
ukuran orang ‘awam hal itu bisa diraih dengan memperhatikan uraian dan wejangan
Syekh Siti Jenar tentang “Shalat Tarek Limang Waktu”.
SEBELAS
“Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun musnah karena tiada diinginkan oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri sekehendak.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 32).
“Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun musnah karena tiada diinginkan oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri sekehendak.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 32).
Pernyataan tersebut
menunjukkan adanya kebebasan manusia dalam menentukan jalan hidup. Manusia
merdeka adalah manusia yang terbebas dari belenggu kultural maupun belenggu
struktural. Dalam hidup ini, tidak boleh ada sikap saling menguasai antar
manusia, bahkan antara manusia dengan Tuhanpun hakikatnya tidak ada yang
menguasai dan yang dikuasai. Ini jika melihat intisari ajaran manunggalnya
Syekh Siti Jenar. Sebab dalam manusia ada roh Tuhan yang menjamin adanya kekuasaan
atas pribadinya dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Dan allah itulah
satu-satunya Wujud. Yang lain hanya sekedar mewujud. Cahaya hanya satu, selain
itu hanya memancarkan cahaya saja, atau pantulannya saja. Subtansi pernyataan
Syekh Siti Jenar tersebut adalah Qs. Al-Baqarah/2;115, “Timur dan Barat
kepunyaan Allah. Maka ke mana saja kamu menghadap di situlah Wajah Allah. ”
Wujud itu dalam Pribadi, dan di dunia atau alam kematian ini, memerlukan wadah
bagi pribadi untuk mengejawantah, menguji diri sejauh mana kemampuannya
mengelola keinginan wadag, sementara Pribadinya tetap suci.
Tuhan dan Kemanusiaan
DUA BELAS
“Zat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju ke semua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal. Satu keinginan saja belum tentu dapat melaksanakan dengan tepat, apa lagi dua. Nah, cobalah untuk memisahkan zat wab/jibul maulana dengan budi, agar supaya manusia dapat menerima keinginan yang lain”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 44).
“Zat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju ke semua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal. Satu keinginan saja belum tentu dapat melaksanakan dengan tepat, apa lagi dua. Nah, cobalah untuk memisahkan zat wab/jibul maulana dengan budi, agar supaya manusia dapat menerima keinginan yang lain”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 44).
Manusia yang mendua
adalah manusia yang tidak sampai kepada derajat kemanunggalan. Sementara
manusia yang manunggal adalah pemilik jiwa yang iradah dan kodratnya telah pula
menyatu dengan Ilahi. Sehingga akibat terpecahnya jiwa dengan roh Ilahi, maka
kehidupannya dikuasai oleh keinginan yang lain, yang dalam al-Qur’an disebut
sebagai hawa nafsu. Maka agar tidak terjadi split personality, dan tidak
mengakibatkan kerusakan dalam tatanan kehidupan, harus ada keterpaduan antara
Zat Wajibul Maulana dengan budi manusia. Dan sang Zat Wajibul Maulana ini
berada di dalam kedirian manusia, bukan di luarnya.
TIGA BELAS
“Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini, baka bersifat abadi, tanpa antara, tiada erat dengan sakit ataupun rasa tidak enak. Ia berada baik di sana, maupun di sini, bukan itu bukan ini. Oleh tingkah yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar, menuruti raga, adalah sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang berwujud, yang tersebar di dunia ini, bertentangan dengan sifat seluruh yang diciptakan, sebab isi bumi itu angkasa yang hampa.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 30).
“Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini, baka bersifat abadi, tanpa antara, tiada erat dengan sakit ataupun rasa tidak enak. Ia berada baik di sana, maupun di sini, bukan itu bukan ini. Oleh tingkah yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar, menuruti raga, adalah sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang berwujud, yang tersebar di dunia ini, bertentangan dengan sifat seluruh yang diciptakan, sebab isi bumi itu angkasa yang hampa.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 30).
Tuhan adalah yang maha
meliputi. Keberadaannya, tidak dibatasi oleh lingkup ruang dan waktu, keghaiban
atau kematerian. Hakikat keberadaan segala sesuatu adalah keberadaan-Nya. Oleh
karenanya keberadaan segala sesuatu di hadapan-Nya sama dengan ketidakberadaan
segala sesuatu, termasuk kedirian manusia. Maka sikap yang selalu menuruti raga
disebut sebagai “sesuatu yang baru” dalam arti tidak mengikuti iradah-Nya. Raga
seharusnya tunduk kepada jiwa yang dinaungi roh Ilahi. Sebab raga hanyalah
sebagai tempat wadag bagi keberadaan roh itu. Jangan terjebak hanya menghiasi
wadahnya, namun seharusnya yang mendapat prioritas untuk dipenuhi perhiasan dan
dicukupi kebutuhannya adalah isi dari wadah.
EMPAT BELAS
“Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Dimanakah adanya Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi. Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalam bumi sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan wujud yang Mulia.”
“Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur dan tengah, yang ada di sana-sana hanya di sini adanya. Yang ada di sini bukan wujud saya. Yang ada didalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekah dan Madinah.”
“Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Dimanakah adanya Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi. Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalam bumi sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan wujud yang Mulia.”
“Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur dan tengah, yang ada di sana-sana hanya di sini adanya. Yang ada di sini bukan wujud saya. Yang ada didalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekah dan Madinah.”
“Saya ini bukan budi,
bukan angan-angan hati, bukan pikiran yang sadar, bukan niat, bukan udara,
bukan angin, bukan panas dan bukan kekosongan atau kehampaan. Wujud saya ini
jasad, yang akhirnya menjadi jenazah, busuk bercampur tanah dan debu. Napas
saya mengelilingi dunia, tanah, api, air dan udara kembali ke tempat asalnya
atau aslinya, sebab semuanya barang baru, bukan asli.”
“Maka saya ini Zat yang
sejiwa, menyukma dalam Hyang Widi. Pangeran saya bersifat jalal dan jamal,
artinya Mahamulia dan Mahaindah. Ia tidak mau shalat atas kehendak sendiri,
tidak pula mau memerintahkan untuk shalat kepada siapapun. Adapun orang shalat,
itu budi yang menyuruh, budi yang laknat dan mencelakakan, tidak dapat
dipercaya dan diturut, karena perintahnya berubah-ubah. Perkataannya tidak
dapat dipegang, tidak jujur, jika diturut tidak jadi dan selalu mengajak
mencuri.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula,
33-36).
Menurut Syekh Siti Jenar,
Allah bukanlah sesuatu yang asing bagi diri manusia. Allah juga bukan yang
ghaib dari manusia. Walaupun Ia penyandang asma al-Ghayb, namun itu hanya dari
sudut materi atau raga manusia. Secara rohiyah, Allah adalah ke-Diri-an manusia
itu. Dalam diri manusia terdapat roh al-idhafi yang membimbing manusia untuk
mengenal dan menghampirinya. Sebagai sarananya, dalam otak kecil manusia, Allah
menaruh God-spot (titik Tuhan) sebagai filter bagi kerja otak, agar tidak
terjebak hanya berpikir materialistik dan matematis. Inilah titik spiritual
yang akan menghubungkan jiwa dan raga melalui roh al-idhafi. Dari sistem kerja
itulah kemudian terjalin kemanunggalan abadi. Maka kalau ada anggapan bahwa
Allah itu ghaib bagi manusia, sesuatu yang jauh dari manusia, pandangan itu
keliru dan sesat.
Sekali lagi apa yang
terurai di atas, adalah suatu kedaaan dan kesadaran yang sudah tidak ada
tingkatan lagi. Jika masih ada terdapat tingkatan maka sebaiknya disempurnakan
lagi. Karena tingkatan itu telah dilebur menjadi satu dengan nama keyakinan,
sehingga tidak ada perbedaan atau tingkatan. Semuanya berpulang kepada Allah,
Tuhan sekalian Alam, apa kata Alam ini ialah juga kehendak-Nya yang merupakan
wujud ADA dalam kehidupan manusia beserta makhluk lainnya…allahu akbar.
LIMA BELAS
“Syukur kalo saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati. Dalam alam kematian ini saya kaya akan dosa. Siang malam saya berdekatan dengan api neraka. Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila saya sudah lepas dari alam saya kematian ini. Saya akan hidup sempurna, langgeng tiada ini itu.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VI Pangkur, 20-21).
“Syukur kalo saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati. Dalam alam kematian ini saya kaya akan dosa. Siang malam saya berdekatan dengan api neraka. Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila saya sudah lepas dari alam saya kematian ini. Saya akan hidup sempurna, langgeng tiada ini itu.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VI Pangkur, 20-21).
Dalam prespektif
kemanunggalan, dunia adalah alam kematian yang sesungguhnya, dikarenakan roh
Ilahinya terpenjara dalam badan wadagnya. Dengan badan wadag yang berhias nafsu
itulah, terjadi dosa manusia. Sehingga keberadaan manusia di dunia penuh dengan
api neraka. Ini sangat berbeda kondisinya dengan alam setelah manusia memasuki
pintu kematian. Manusia akan manunggal di alam kehidupan sejati setelah
mengalami mati. Disanalah ditemukan kesejatian Diri yang tidak parsial. Dirinya
yang utuh, sempurna, dengan segala kehidupan yang juga sempurna.
ENAM BELAS
“Menduakan kerja bukan watak saya! Siapa yang mau mati! Dalam alam kematian orang kaya akan dosa! Balik jika saya hidup yang tak kenal ajal, akan langgeng hidup saya, tidak perlu ini itu. Akan tetapi bila saya disuruh milih hidup atau mati saya tidak sudi! Sekalipun saya hidup, biar saya sendiri yang menentukan! Tidak usah Walisanga memulangkan saya ke alam kehidupan! Macam bukan wali utama saya ini, mau hidup saja minta tolong pada sesamanya. Nah marilah kamu saksikan! Saya akan pulang sendiri ke alam kehidupan sejati.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII Dandanggula, 14-16).
“Menduakan kerja bukan watak saya! Siapa yang mau mati! Dalam alam kematian orang kaya akan dosa! Balik jika saya hidup yang tak kenal ajal, akan langgeng hidup saya, tidak perlu ini itu. Akan tetapi bila saya disuruh milih hidup atau mati saya tidak sudi! Sekalipun saya hidup, biar saya sendiri yang menentukan! Tidak usah Walisanga memulangkan saya ke alam kehidupan! Macam bukan wali utama saya ini, mau hidup saja minta tolong pada sesamanya. Nah marilah kamu saksikan! Saya akan pulang sendiri ke alam kehidupan sejati.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII Dandanggula, 14-16).
Karena kematian hanya
sebagai pintu bagi kesempurnaan hidup yang sesungguhnya, maka sebenarnya
kematian juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari keberadaan manusia sebagai
pribadi. Oleh karena itu, kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan bukan
sesuatu yang bisa dipilih orang lain. Kematian adalah hal yang muncul dengan
kehendak Pribadi, menyertai keinginan pribadi yang sudah berada dalam kondisi
manunggal. Oleh karena itu, dalam sistem teologi Syekh Siti Jenar, sebenarnya
tidak ada istilah “dimatikan” atau “dipulangkan”, baik oleh Allah atau oleh
siapapun. Sebab dalam hal mati ini, sebenarnya tidak ada unsur tekan-menekan
atau paksaan. Pintu kematian adalah sesuatu hal yang harus dijalani secara
sukarela, ikhlas, dan harus diselami pengetahuannya, agar ia mengetahui kapan
saatnya ia menghendaki kematiannya itu. Barulah jika seseorang memang tidak
pernah mempersiapkan diri, dan tidak pernah mau mempelajari ilmu kematian,
tanpa tau arahnya ke mana, dan tidak mengerti apa yang sedang dialami.
TUJUH BELAS
“…Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini dijumpai dalam mati, mati yang sempurna teramat oleklah dia. Manusia sejati-sejatinya yang sudah meraih puncak ilmu. Tiada dia mati, hidup selamanya. Menyebutkan mati syirik, lantaran tak tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia dengan memboyong kratonnya. Kenikmatan mati tak dapat dihitung…” “…Tersasar, tersesat, lagi terjerumus, menjadikan kecemasan, menyusahkan dalam patinya, justru bagi ilmu orang remeh…” (Babad Jaka Tingkir-Babad Pajang, hlm. 74).
“…Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini dijumpai dalam mati, mati yang sempurna teramat oleklah dia. Manusia sejati-sejatinya yang sudah meraih puncak ilmu. Tiada dia mati, hidup selamanya. Menyebutkan mati syirik, lantaran tak tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia dengan memboyong kratonnya. Kenikmatan mati tak dapat dihitung…” “…Tersasar, tersesat, lagi terjerumus, menjadikan kecemasan, menyusahkan dalam patinya, justru bagi ilmu orang remeh…” (Babad Jaka Tingkir-Babad Pajang, hlm. 74).
Menurut penuturan Babad
Jaka Tingkir, ungkapan mistik itu keluar dari ucapan darah Syekh Siti Jenar,
setelah dipenggal kepalanya oleh Dewan Walisanga. Darah yang menyembur, jatuh
ke tanah melukis kaligrafi la ilaaha illallah, dan mengeluarkan ucapan-ucapan
mistik tersebut. Para wali dan masyarakat yang menyaksikannya terkejut campur
bingung. Setelah beberapa saat, dari lisan kepala yang sudah dipenggal, keluar
ucapan yang memerintahkan agar darah kembali ke jasadnya, demikian pula kepala
menyatu dengan tubuh. Jelas bahwa kematian fisik tak mampu menyentuh Syekh Siti
Jenar. Mati ada dalam hidup, hidup ada dalam mati.hidup selamanya tidak mati,
kembali ke tujuan, langgeng selamanya. Setelah berpamitan dan mengucapkan salam
kepada semua yang menyaksikan, Syekh Siti Jenar dengan diliputi oleh semerbak
bau harum terbungkus cahaya gemerlapan yang menyorot ke atas, kemudian lenyap
terserap ke dalam al-Ghaib, Dia Yang Sudah Dimuliakan. Iringan cahaya bersinar
cemerlang, berkilau gemilang, berkobar menyala, menyuramkan sinar sang mentari,
menyilaukan pandang semua orang yang menyaksikan.
Adapun pelaksanaan
hukuman atas dirinya, oleh Syekh Siti Jenar sengaja dibiarkan terlaksana, guna
memenuhi hukum duniawi, sekaligus sebagai monumen kebenaran ajarannya. Tanpa
bukti yang dinampakkan secara dzahir, maka kebenaran ajaran Manunggaling
Kawula-Gusti tidak akan pernah terwujud. Sebab pembuktian itu –sebagaimana
sudah terjadi pada Mansur al-Hallaj, al-Syuhrawardi dan ‘Aynul Quddat
al-Hamadani sebagai pendahulunya – memang menuntut jasad sang Guru sebagai
martir atau syahid bagi kesufiannya. Dengan kemartirannya dan kesediannya
sebagai syuhada’ bagi sufisme di Tanah Jawa itulah ia disebut sebagai Syekh
Jatimurni, Guru Pemilik Inti Kesejatian atau Pusar Ilmu Kasampurnan.
AJARAN TENTANG PENERAPAN
RUKUN IMAN, ISLAM DAN IHSAN
Materi Pokok Pengajaran
Syekh Siti Jenar
DELAPAN BELAS
“…Kepada mereka, Siti Jenar pertama-tama mengajarkan akan asal usul kehidupan, kedua diberitahukan akan pintu kehidupan. Ketiga, tempat besok bila sudah hidup kekal abadi, keempat alam kematian yaitu yang sedang dijalani sekarang ini. Lagipula mereka diberitahu akan adanya Yang Maha Luhur…” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh IV Sinom, 6-7).
“…Kepada mereka, Siti Jenar pertama-tama mengajarkan akan asal usul kehidupan, kedua diberitahukan akan pintu kehidupan. Ketiga, tempat besok bila sudah hidup kekal abadi, keempat alam kematian yaitu yang sedang dijalani sekarang ini. Lagipula mereka diberitahu akan adanya Yang Maha Luhur…” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh IV Sinom, 6-7).
Kepada pada muridnya,
Syekh Siti Jenar mengajarkan ilmu ma’rifat secata bertahap, yang harus dikuasai
oleh seseorang, jika ingin menjadi manusia sempurna (al-insan al-kamil), serta
bagi yang ingin menempuh laku manunggal dengan Tuhan. (1) Pertama-tama Syekh
Siti Jenar mengajarkan tentang asal-usul manusia [ngelmu sangkan-paran]; (2)
Langkah berikutnya, ia mengajarkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan, khususnya
apa yang disebut sebagai pintu kehidupan; (3) Langkah ketiga Syekh Siti Jenar
menunjukkan tempat manusia besok ketika sudah hidup kekal abadi; (4) Taham
keempat, ia menunjukkan tempat alam kematian, yaitu yang sedang dialami dan
dijalani manusia sekarang ini, di dunia ini, serta berbagai kiat cara
menghadapinya; (5) Langkah terakhir Syekh Siti Jenar mengajarkan tentang adanya
Tuhan Yang Maha Luhur yang menjadikan bumi dan angkasa, sebagai pelabuhan akhir
bagi kemanunggalan dan keabadian.
SEMBILAN BELAS
“Insun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran amung Ingsun, lan nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul iku rahsaning-Sun, Muhammad iku cahyaning-Sun, iya Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar.. sampurna padhang terawang-an, ora karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung Insun kang nglimputi ing ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun.” (R. Ng. Ranggawarsita, WIRID Punika Serat Wirid Anyariyo-saken Wewejanganipun Wali VIII, Administrasi Jawi Kandha Surakarta, penerbit Albert Rusche & Co., Surakarta, 1908, hlm.15-16).
“Insun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran amung Ingsun, lan nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul iku rahsaning-Sun, Muhammad iku cahyaning-Sun, iya Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar.. sampurna padhang terawang-an, ora karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung Insun kang nglimputi ing ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun.” (R. Ng. Ranggawarsita, WIRID Punika Serat Wirid Anyariyo-saken Wewejanganipun Wali VIII, Administrasi Jawi Kandha Surakarta, penerbit Albert Rusche & Co., Surakarta, 1908, hlm.15-16).
Terjemahan, “Aku angkat
saksi di hadapan Dzat-Ku sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali Aku, dan
Aku angkat saksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku, sesungguhnya yg disebut
Allah Ingsun diri sendiri (badan-Ku), Rasul itu Rahsa-Ku, Muhammad itu
cahaya-Ku, Akulah Dzat yg hidup tidak akan terkena mati, Akulah Dzat yang selalu
ingat tidak pernah lupa, Akulah Dzat yg kekal tidak ada perubahan dalam segala
keadaan, (bagi-Ku) tidak ada yg samar sesuatupun, Akulah Dzat yang Maha
Menguasai, yang Kuasa dan Bijaksana, tidak kekurangan dalam pengertian,
sempurna terang benerang, tidak terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanya
Aku yg meliputi sekalian alam dengan kodrat-Ku.”
Ajaran tersebut disebut
sebagai ajaran atau wejangan Sasahidan Serat Wirid Hidayat Jati merupakan
naskah paling terkenal hasil karya R. Ng. Ranggawarsita. Menurut R. Ng.
Ranggawarsita, naskah tersebut merupakan wejangan wali ke-8. wali VIII yang
dimaksud adalah Sunan Kajenar atau Syekh Siti Jenar. Ini sesuai dengan
pernyataan Ranggawarsita sendiri dalam naskah tersebut pada halaman 5 dan 6,
dimana wejangannya adalah Sasahidan atau Penyaksian. Oleh Ranggawarsita, Sunan
Kajenar disebut sebagai wali dalam dua angkatan, yakni angkatan pertama di awal
Kerajaan Demak dan angkatan dua, yakni pada masa akhir Kerajaan Demak. Melihat
pernyataan ini, logis jika tahun wafatnya Syekh Siti Jenar ditetapkan pada
tahun 1517, sebab setelah kekuasaan Raden Fatah usia Kerajaan Demak tidak
berlangsung lama, disambung dengan Kerajaan Pajang.
Dari wejangan Sasahidan
itu, nampaklah pengalaman spiritual dan keadaan kemanunggalan pada diri Syekh
Siti Jenar terjadi dalam waktu yang lama, dan mendominasi keseluruhan wahana
batin Syekh Siti Jenar. Nampak juga bahwa dalam intisari ajaran tersebut,
konsistensi sikap batin dan sikap dzahir dari ajaran Syekh Siti Jenar. Jika
ilmu tidak ada yang dirahasiakan dalam pengajaran, maka demikian pula
pengalaman batin dari keagamaan juga tidak bisa disembunyikan. Dan pengalaman
keagamaan yang terlahir tidak harus ditutup-tutupi walaupun dengan dalih dan
selubung syari’at. Dan akhirnya dalam ajaran Sasahidan itulah, semua ajaran
Syekh Siti Jenar tersimpul.
Kemanunggalan Ke-Iman-an
DUA PULUH
“Adapun manunggalnya keimanan, itu menjadi tempat berkumpulnya jauhar (mutiara) Muhammad, terdiri atas 15 perkara, seperti perincian di bawah ini:
“Adapun manunggalnya keimanan, itu menjadi tempat berkumpulnya jauhar (mutiara) Muhammad, terdiri atas 15 perkara, seperti perincian di bawah ini:
a. Imannya imam, maksudnya
adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah keberadaan Allah.
b. Imannya tokide
(tauhid), maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah
panunggale (tempat manunggalnya) Allah.
c. Imannya syahadat,
maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah sifatullah
(sifatnya Allah).
d. Imannya ma’rifat,
maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kewaspadaan
Allah.
e. Imannya shalat,
maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah menghadap
Allah.
f. Imannya kehidupan,
maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah
kehidupannya Allah.
g. Imannya takbir,
maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kepunyaan
keangungan Allah.
h. Imannya saderah,
maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah pertemuan
Allah.
i. Imannya kematian,
maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kesucian
Allah.
j. Imannya junud,
maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah wadahnya
Allah.
k. Imannya jinabat,
maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah
kawimbuhaning (bertambahnya ni’mat dan anugerah) Allah.
l. Imannya wudlu,
maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah asma (Nama)
Allah.
m.Imannya kalam
(perkataan), maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau
adalah ucapan Allah.
n. Imannya akal,
maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah juru bicara
Allah.
o. Imannya nur, maksudnya
adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah wujudullah, yaitu
tempat berkumpulnya seluruh jagat (makrokosmos), dunia akhirat, surga neraka,
‘arsy kursi, loh kalam (lauh al-kalam), bumi langit, manusia, jin, belis
(iblis) laknat, malaikat, nabi, wali, orang mukmin, nyawa semua, itu berkumpul
di pucuknya jantung yang disebut alam kiyal (‘alam al-khayal), maksudnya adalah
angan-angannya Tuhan, itulah yang agung yang disebut alam barzakh, yang
dimaksudnya adalah pamoring gusti kawula, yang disebut alam mitsal, yang
dimaksudnya adalah awal pengetahuan, yaitu kesucian dzat sifat asma af’al, yang
disebut alam arwah, maksudnya berkumpulnya nyawa yang adalah dipenuhi sifat
kamal jamal.” (Wedha Mantra, hlm. 54-55).
Ajaran tersebut terkenal
dengan sebutan panunggaling iman. Dari aplikasi iman dalam bentuk keimanan
Manunggaling Kawula-Gusti tersebut tampak, bahwa fungsi manusia sebagai
khalifatullah (wakil real Allah) di muka bumi betul-betul nyata. Manusia adalah
cermin dan pancaran wujud Allah, dengan fungsi iradah dan kodrat yang
berimbang. Semua bentuk syari’at agama ternyata memiliki wujud implementasi
bagi tekad hatinya, sekaligus ditampakkan melalui tingkah lahiriyahnya.
Jelas sudah bahwa dalam
sistem sufisme Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan
mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah, ajaran “langit” Allah berhasil
“dibumikan” oleh Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan
mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah. Melalui doktrin utama
Manunggaling Kawula-Gusti. Manusia diajak untuk membuktikan keberadaan Allah
secara langsung, bukan hanya memahami “keberadaan” dari sisi nalar-pikir (ilmu)
dan rasa sentimen makhluk (perasaan yang dipaksa dengan doktrin surga dan
neraka). Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan
mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah. Mengajarkan dan mengajak
manusia bersama-sama “merasakan” Allah dalam diri pribadi masing-masing.
DUA PULUH SATU
Adapun yang menjadi maksud:
Adapun yang menjadi maksud:
a. Iman, adalah
pangandeling (pusaka andalan), roh.
b. Tokid (tauhid),
panunggale (saudara tak terpisah, tempat manunggal) roh.
c. Ma’rifat, penglihatan
roh.
d. Kalbu, penerimaan
(antena penerima) roh.
e. Akal, pembicaraannya
roh.
f. Niat, pakaremaning
roh.
g. Shalat, menghadapnya
roh.
h. Syahadat, keadaan
roh.” (Wedha Mantra, hlm. 54).
Pernyataan Syekh Siti
Jenar tersebut mempertegas maksud Manunggalnya Iman di atas. Di dalam hal ini,
Syekh Siti Jenar menjelaskan maksud dari masing-masing doktrin pokok tauhid dan
fiqih ketika dikaitkan dengan spiritual. Iman, tauhid, ma’rifat, qalbu, dan
akal adalah doktrin pokok dalam wilayah tauhid; dan niat, shalat serta syahadat
adalah doktrin pokok fiqih. Oleh Syekh Siti Jenar semua itu sirangkai menjadi
bentuk perbuatan roh manusia, sehingga masing-masing memiliki peran dan fungsi
yang dapat menggerakkan seluruh kepribadian manusia, lahir dan batin, roh dan
jasadnya. Itulah makna keimanan yang sesungguhnya. Sebab rukun iman, rukun
Islam dan ihsan pada hakikatnya adalah suatu kesatuan yang utuh yang membentuk
kepribadian illahiyah pada kedirian manusia.
DUA PULUH DUA
“Yang disebut kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang menyamai. Kekuasaannya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada baik luar maupun dalam merupakan kesantrian yang beraneka ragam. Iradatnya artinya kehendak yang tiada membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan, yang lepas jauh dari pancaindera bagaikan anak gumpitan lepas tertiup.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandangula, 31).
“Yang disebut kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang menyamai. Kekuasaannya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada baik luar maupun dalam merupakan kesantrian yang beraneka ragam. Iradatnya artinya kehendak yang tiada membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan, yang lepas jauh dari pancaindera bagaikan anak gumpitan lepas tertiup.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandangula, 31).
Bagi Syekh Siti Jenar,
kodrat dan iradat bukanlah hal yang terpisah dari manusia, dan bukan mutlak
milik Allah. Kodrat dan iradat menurut Syekh Siti Jenar terkait erat dengan
eksistensi sang Pribadi (manusia). Pribadi adalah eksistensi roh. Maka jika roh
adalah pancaran cahaya-Nya, pribadi adalah tajalli-Nya, penjelmaan Diri-Nya.
Pribadi adalah Allah yang menyejarah. Maka Syekh Siti Jenar mengemukakan bahwa
dirinya adalah sang pemilik dua puluh sifat ketuhanan. Oleh karena itu kodrat
merupakan kuasa pribadi, sifat yang melekat pada pribadi sejak zaman azali dan
itu langgeng. Demikian pula adanya iradat, kehendak atau keinginan.
Antara karsa, keinginan
dan kuasa, adalah hal yang selalu berkelindan bagi wujud keduanya. Tentu
menyangkut kehendak, setiap pribadi memiliki karsa yang mandiri dan yang berhak
merumuskan hanyalah “perundingan” antara pemilik iradah dengan Yang Maha
Memiliki Iradah. Kemudian untuk mewujudkan rasa cipta itu, perlu juga
pelimpahan kodrat Allah pada manusia. Untuk itu semua, Syekh Siti Jenar
mendidik manusia untuk mengetahui Yang Maha Kuasa, dan mengetahui letak pintu
kehidupan serta kematian. Tujuannya jelas, agar manusia menjadi Pribadi Sejati,
pemilik iradah dan kodrat bagi dirinya sendiri.
Syahadat
DUA PULUH TIGA
“Inilah maksud syahadat: ‘Ashadu;jatuhnya rasa, ilaha;kesejatian rasa, illallah; bertemu rasa. Muhammad hasil karya yang maujud, Pangeran; kesejatian kehidupan.”
“Inilah maksud syahadat: ‘Ashadu;jatuhnya rasa, ilaha;kesejatian rasa, illallah; bertemu rasa. Muhammad hasil karya yang maujud, Pangeran; kesejatian kehidupan.”
Dalam hal syahadat ini,
Syekh Siti Jenar mengajarkan berbagai macam syahadat dan hal itu selaras dengan
konsep utama ajarannya, manunggaling kawula-Gusti, serta tetap di atas fondasi
ajaran shalat daim. Syahadat dalam hal ini, adalah menjadi keadaan roh, bukan
sekedar ucapan lisan, dan hasil pengolahan nalar-pikiran, atau bisikan hati.
Susunan kalimat syahadat adalah campuran bahasa Arab dan bahasa Jawa. Hal ini
menjadi kebiasaan Syekh Siti Jenar dalam mengajarkan ajaran-ajarannya, sehingga
dengan mudah dan gamblang murid serta pengikutnya mampu memahami dan
mengamalkan ajaran tersebut, tanpa kesulitan akibat kendala bahasa.
Beberapa wali di Jawa,
selain Syekh Siti Jenar juga memiliki dan mengajarkan syahadat. Misalnya
syahadat Sunan Giri, “Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana sinarawedi,
sahadu minangka kencana sinarawedi, dzat sukma kang ginawa mati, kurungan mas
ilang tanpa kerana, sira muliha maring kubur.” Syahadat Sunan Bonang,
“Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, linggih ing maligi mas, ulir
sjroh-ning geni muskala, ilang ing kawulat aja kari, ya hu ya hu ya hu, sirna
kurungan tanpa kerana.” Dan syahadat Sunan Kalijaga, “Bismillahirrahmanirrahim,
syahadat kencana, kurungan mas, kuliting jati sajatining sukma, ginawa mati,
sirna tan ana kari, sukma ilang jiwa ilang, kang lunga padha rupane, dap lap
ilang,” (Wejangan Walisanga, hlm. 50).
Dibawah ini adalah
aplikasi syahadat menurut Syekh Siti Jenar. Sebagian syahadat yang ada
merupakan dzikir dan wirid ketika Syekh Siti Jenar mengajarkan cara melepaskan
air kehidupan (tirta nirmaya) untuk membuka pintu kematian menuju kehidupan
sejati di alam akhirat. Syahadat-syahadat sejenis juga diajarkan oleh Ki Ageng
Pengging kepada Sunan Kudus, sebelum wafatnya.
Jatunya rasa (tibaning
rasa) maksudnya adalah meresapnya Allah dalam kehendak dan kedalaman jiwa. Ini
kemudian dipupuk dengan laku spiritual yang melahirkan sajatining rasa
(kesejatian rasa), di mana ruang keseluruhan jiwa telah terdominasi oleh
al-Haqq (Allah). Kemudian lahirlah ungkapan illallah sebagai puncak, yakni
pertemuan rasa, manunggalnya yang mengungkapkan “asyhadu” dengan sarana ungkapan,
yakni Allah. Kemanunggalan ini memunculkan tenaga dan energi kreativitas
positif, dalam bentuk karya yang berbentuk nyata, bermanfaat dan berdaya guna,
serta bersifat langgeng, yang diidentifikasikan dengan sebutan Muhammad (Yang
Memiliki Segala Keterpujian) sebagai perwujudan riil dari sang Wajib al-Wujud.
Maka diri manusia sebagai ”Pangeran” (Tuhan) itulah yang perupakan kesejatian
hidup atau kehidupan. Syahadat dalam sistem ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah
hanya sekedar bentuk pengakuan lisan yang berupa syahadat tauhid dan syahadat
rasul. Namun syahadat adalah persaksian batin, yang teraplikasi dalam tindakan
dzahir sebagai wujud kemanunggalan kawula-Gusti. Dengan demikian syahadat mampu
melahirkan karya-karya yang bermanfaat.
DUA PULUH EMPAT
“Mengertilah, bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tau maka sekaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti hewan. Lafalnya mengucapkan adalah : “Syahadat Sakarat Sajati, iya Syahadat Sakarat, wus gumanang waluya jati sirne eling mulya maring tunggal, waluya jati iya sajatining rasa, lan dzat sajatining dzat pesthi anane langgeng tan kenaning owah, dzat sakarat roh madhep ati muji matring nyawa, tansah neng dzatullah, kurungan mas melesat, eling raga tan rusak sukma mulya Maha Suci.” (Mantra Wedha, bab 205, hlm. 53).
“Mengertilah, bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tau maka sekaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti hewan. Lafalnya mengucapkan adalah : “Syahadat Sakarat Sajati, iya Syahadat Sakarat, wus gumanang waluya jati sirne eling mulya maring tunggal, waluya jati iya sajatining rasa, lan dzat sajatining dzat pesthi anane langgeng tan kenaning owah, dzat sakarat roh madhep ati muji matring nyawa, tansah neng dzatullah, kurungan mas melesat, eling raga tan rusak sukma mulya Maha Suci.” (Mantra Wedha, bab 205, hlm. 53).
(Syahadat Sakarat Sejati
adalah Syahadat Sakarat [Menjelang dan proses datangnya pintu kematian], sudah
nyata penuh kesempatan hilangnya ingatan kemuliaan kepada yang tunggal,
keselamatan dan kesentosaan itu adalah sejatinya kehidupan, tunggal sejatinya
hidup, hidup sejatinya rasa dan sejatinya rasa dan dzat sejatinya dzat pasti
dalam keberadaan kelanggengan tidak terkena perubahan, dzat sekarat roh
menghadap hati memuji nyawa, selalu berada dalam dzatullah, sangkar mas hilang,
mengingat raga tidak terkena kerusakan sukma mulia Maha Suci).
Syahadat Sakarat adalah
syahadat atau persaksian menjelang kematian. Sebagaimana diketahui, bahwa salah
satu ajaran Syekh Siti Jenar adalah kemampuan memadukan iradah dan qudrat diri
dengan iradah dan qudrat Ilahi, sebagai efek kemanunggalan. Sehingga apa yang
menjadi ilmu Allah, maka itu adalah ilmu diri manusia yang manunggal. Maka
orang yang sudah meninggal mencapai al-Insan al-Kamil, juga mengetahui kapan
saatnya dia meninggalkan alam kematian di dunia ini, menuju alam kehidupan
sejati di akhirat, untuk menyatu selamanya dengan Allah. Syahadat sekarat yang
terpapar di atas, adalah syahadat sakarat yang bersifat umum, sebab nanti masih
ada beberapa syahadat. Semua syahadat yang diajarkan Syekh Siti Jenar menjadi
lafal harian atau dzikir, terutama saat menjelang tidur, agar dalam kondisi
tidur juga tetap berada dalam kondisi kemanunggalan iradah dan qodrat. Namun
syahadat-syahadat yang ada tidak hanya sekedar ucapan, sebab saat pengucapan
harus disertai dengan laku (meditasi) dan paling tidak mengheningkan daya
cipta, rasa dan karsa, sehingga lafal-lafal yang berupa syahadat tersebut,
menyelusup jauh ke dalam diri atau dalam sukma.
DUA PULUH LIMA
“Syahadat Allah, Allah, Allah lebur badan, dadi nyawa, lebur nyawa dadi cahya, lebur cahya dadi idhafi, lebur idhafi dadi rasa, lebur rasa dadi sirna mulih maring sajati, kari amungguh Allah kewala kang langgeng tan kena pati.” (syahadat Allah, Allah, Allah badan lebur menjadi (roh) idhafi, (roh) idhafi lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggallah hanya Allah semata yang abadi tidak terkena kematian). [Mantra Wedha, hlm. 53).
“Syahadat Allah, Allah, Allah lebur badan, dadi nyawa, lebur nyawa dadi cahya, lebur cahya dadi idhafi, lebur idhafi dadi rasa, lebur rasa dadi sirna mulih maring sajati, kari amungguh Allah kewala kang langgeng tan kena pati.” (syahadat Allah, Allah, Allah badan lebur menjadi (roh) idhafi, (roh) idhafi lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggallah hanya Allah semata yang abadi tidak terkena kematian). [Mantra Wedha, hlm. 53).
Syahadat paleburan diucapkan
ketika (menjalani keheningan = samadhi), menyatukan diri kepada Allah. Lafal
tersebut lahir dari pengalaman Syekh Siti Jenar ketika memasuki relung-relung
kemanunggalan, di mana jasad fisiknya ditinggalkan rohnya, sesudah semua nafs
dalam dirinya mengalami kasyaf.
DUA PULUH ENAM
“Ashadu-ananingsun, la ilaha rupaningsun, illallah – Pangeransun, satuhune ora ana Pangeran angging Ingsun, kang badan nyawa kabeh” (ashadu-keberadaanku, la ilaha – bentuk wajahku, illallah – Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan nyawa seluruhnya).
“Ashadu-ananingsun, la ilaha rupaningsun, illallah – Pangeransun, satuhune ora ana Pangeran angging Ingsun, kang badan nyawa kabeh” (ashadu-keberadaanku, la ilaha – bentuk wajahku, illallah – Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan nyawa seluruhnya).
Inilah yang disebut
Syahadat Sajati. Pengakuan sejati ini adalah ungkapan yang sebenarnya bersifat
biasa-biasa saja, di mana ungkapan tersebut lahir dari hati dan rohnya,
sehingga dari ungkapan yang ada dapat diketahui sampai di mana tingkatan
tauhidnya (tauhid dalam arti pengenalan akan ke-Esaan Allah), bukan sekedar
pengenalan akan nama-nama Allah.
DUA PULUH TUJUH
“Sakarat pujine pati, maksude napas pamijile napas, kaketek meneng-meneng, iya iku sing ameneng, pati sukma badan, mulya sukma sampurna, mulih maring dzatullah, Allah kang bangsa iman, iman kang bangsa nur, nur kang bangsa Rasulullah, iya shalat albar, Muhammad takbirku, Allah Pangucapku, shalat jati asembahyang kalawan Allah, ora ana Allah, ora ana Pangeran, amung iku kawula tunggal, kang agung kang kinasihan.” (mantra Wedha, hlm. 53).
“Sakarat pujine pati, maksude napas pamijile napas, kaketek meneng-meneng, iya iku sing ameneng, pati sukma badan, mulya sukma sampurna, mulih maring dzatullah, Allah kang bangsa iman, iman kang bangsa nur, nur kang bangsa Rasulullah, iya shalat albar, Muhammad takbirku, Allah Pangucapku, shalat jati asembahyang kalawan Allah, ora ana Allah, ora ana Pangeran, amung iku kawula tunggal, kang agung kang kinasihan.” (mantra Wedha, hlm. 53).
“Sekarat ku kemuliaan
kematian, maksudnya adalah napas munculnya napas, yang hilang berangsur-angsur
secara diam-diam, yaitu yang kemudian diam, kematian sebagai sukma badan-wadag,
kemuliaan sukma kesempurnaan, kembali kepada dzatullah, Allah sebagai labuhan
iman, iman yang berbentuk cahaya, cahaya yang berwujud Rasulullah, yaitu adalah
shalat yang agung, Muhammad sebagai takbirku, Allah sebagai ucapanku, shalat
sejati menyembah Allah, tidak ada Allah tidak ada Tuhan, hanyalah aku (kawula)
yang tunggal saja, yang agung dan dikasihi.”
Ini adalah Syahadat
Sakarat Permulaan Kematian. Ketika seseorang sudah melihat akhir hayatnya, maka
orang tersebut diajarkan untuk memperbanyak melafalkan dan mengamalkan
“syahadat sakarat wiwitane pati” ini.
DUA PULU DELAPAN
“Ashadu ananingsun, anuduhake marga kang padhang, kang urip tan kenaning pati, mulya tan kawoworan, elinge tan kena lali, iya rasa iya rasulullah, sirna manjing sarira ening, sirna wening tunggal idhep jumeneng langgeng amisesa budine, angen-angene tansah amadhep ing Pangeran.” (mantra Wedha, hlm. 54).
“Ashadu ananingsun, anuduhake marga kang padhang, kang urip tan kenaning pati, mulya tan kawoworan, elinge tan kena lali, iya rasa iya rasulullah, sirna manjing sarira ening, sirna wening tunggal idhep jumeneng langgeng amisesa budine, angen-angene tansah amadhep ing Pangeran.” (mantra Wedha, hlm. 54).
(Ashadu keberadaanku,
yang menunjukkan jalan yang terang, yang hidup tidak terkena kematian, yang
mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak terkena kematian, yang mulia tanpa
kehinaan, kesadaran yang tidak terkena lupa, itulah rasa yang tidak lain adalah
Rasulullah, selesailah berada di alam terang, itulah hakikat Rasulullah, hilang
musnah ketempat wujud yang hening, hilang keheningan menyatu-tunggal menempati
secara abadi memelihara budi, angan-angan selalu menghadap Tuhan).
Syahadat Sekarat Hati
pada hakikatnya adalah syahadat Nur Muhammad. Suatu penyaksian bahwa kedirian
manusia adalah bagian dari Nur Muhammad. Dari inti syahadat ini, jelas bahwa
kematian manusia bukanlah jenis kematian pasif, atau kematian negatif, dalam
arti kematian yang bersifat memusnahkan. Kematian dalam pandangan sufisme Syekh
Siti Jenar hanya sebagai gerbang menuju kemanunggalan, dan itu harus memasuki
alam Nur Muhammad. Bentuk konkretnya, dalam pengalaman kematian itu, orang
tersebut tidaklah kehilangan akan kesadaran manunggal-Nya. Ia melanglang buana
menuju asal muasal hidup. Oleh karenanya keadaan kematiannya bukanlah suatu
kehinaan sebagaimana kematian makhluk selain manusia. Di sinilah arti penting
adanya syafa’at sang Utusan (Rasulullah) dalam bentuk Nur Muhammad atau hakikat
Muhammad. Nur Muhammad adalah roh kesadaran bagi tiap Pribadi dalam menuju
kemanunggalannya. Sehingga dengan Nur Muhammad itulah maka pengalaman kematian
oleh manusia, bagi Syekh Siti Jenar bukan sejenis kematian yang pasif, atau
kematian yang negatif, dalam arti kematian dalam bentuk kemusnahan sebagaimana
yang terjadi terhadap hewan.
Kematian itu adalah
sesuatu aktivitas yang aktif. Sebab ia hanyalah pintu menuju keadaan manunggal.
Dalam ajaran Syekh Siti Jenar yang diperuntukkan bagi kaum ‘awam (orang yang
belum mampu mengalami Manunggaling Kawula-Gusti secara sempurna) di atas,
nampak bahwa dalam kematian itu, seseorang tetap tidak kehilangan kesadaran
kemanunggalannya. Dengan hakikat Muhammadnya ia tetap sadar dalam pengalaman
kematian itu, bahwa ia sedang menempuh salah satu lorong manunggal. Melalui
lorong itulah kediriannya menuju persatuan dengan Sang Tunggal. Kematian
manusia adalah proses aktif sang al-Hayyu (Yang Maha Hidup), sehingga hanya
dengan pintu yang dinamakan kematian itulah, manusia menuju kehidupan yang
sejati, urip kang tan kena pati, hidup yang tidak terkena kematian.
DUA PULUH SEMBILAN
“Syahadat Panetep panatagama, kang jumeneng roh idlafi, kang ana telenging ati, kang dadi pancere urip, kang dadi lajere Allah, madhep marang Allah, iku wayanganku roh Muhammad, iya, iku sajatining manusia, iya iku kang wujud sampurna. Allahumma kun walikun, jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah.” (mantra Wedha, hlm. 54).
“Syahadat Panetep panatagama, kang jumeneng roh idlafi, kang ana telenging ati, kang dadi pancere urip, kang dadi lajere Allah, madhep marang Allah, iku wayanganku roh Muhammad, iya, iku sajatining manusia, iya iku kang wujud sampurna. Allahumma kun walikun, jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah.” (mantra Wedha, hlm. 54).
(Syahadat Penetap
Panatagama, yang menempati roh idlafi, yang ada di kedalaman hati, yang menjadi
sumbernya kehidupan, yang menjadi bertempatnya Allah, menghadap kepada Allah,
bayanganku adalah roh Muhammad, yaitu sejatinya manusia, yaitu wujudnya yang
sempurna. Allahumma kun walikun jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah,
Muhammad Rasulullah).
Syahadat ini adalah
sejenis syahadat netral, yakni yang memiliki fungsi dan esensi yang umum.
Pengucapannya tidak berhubungan dengan waktu, tempat, dan keadaan tertentu
sebagaimana syahadat yang lain. Hakikat syahadat ini hanyalah berfungsi untuk
meneguhkan hati akan tauhid al-wujud.
TIGA PULUH
“Ini adalah syahadat sakaratnya roh (pecating nyawa), yang meliputi empat perkara :
“Ini adalah syahadat sakaratnya roh (pecating nyawa), yang meliputi empat perkara :
1. Ketika roh keluar dari
jasad, yakni ketika roh ditarik sampai pada pusar, maka bacaan syahadatnya
adalah, “la ilaha illalah, Muhammad rasulullah.”
2. Kemudian, ketika roh
ditarik dari pusar sampai ke hati, syahadat rohnya adalah “la ilaha illa Anta”.
3. Kemudian roh ditarik
sampai otak, maka syahadatnya “la ilaha illa Huwa”.
4. Maka kemudian roh
ditarik dengan halus. Saat itu sudah tidak mengetahui jalannya keluar roh dalam
proses sekarat lebih lanjut. Sekaratnya manusia itu sangat banyak sakitnya,
seakan-akan hidupnya sekejap mata, sakitnya sepuluh tahun. Dalam keadaan
seperti itulah manusia kena cobaan setan, sehingga kebanyakkan kelihatan bahwa
kalau tidak melihat jalan keluarnya roh menjadi lama dalam proses sekaratnya.
Jika rohnya tetap mendominasi kesadarannya, tidak kalah oleh sifat setan, maka
syahadatnya roh adalah “la ilaha illa Ana”. (Mantra Wedha, bab 211, hlm. 57).
Ajaran tentang syahadat
pecating nyawa tersebut diberikan oleh Syekh Siti Jenar bagi orang yang belum
mampu menempuh laku manusia manunggal, sehingga diperlukan prasyarat lahiriyah
yang berupa syahadat pecating nyawa tersebut. Bagi yang sudah mampu menempuh
laku manunggal, maka prosesnya seperti yang dilakukan Syekh Siti Jenar,
kematian bukan masalah kapan ajalnya datang, juga bukan masalah waktu. Kematian
termasuk dalam salah satu agenda manunggalnya iradah dan qudrat kawula Gusti
dan sebaliknya.
Kalau diperhatikan secara
seksama, ajaran Syekh Siti Jenar yang dikhususkan bagi kalangan ‘awam (yang
tidak mampu mengalami Manunggaling Kawula Gusti secara sempurna) tersebut
hampir sama dengan ajaran Syuhrawardi.
Shalat (tarek dan Daim)
Syekh Siti Jenar
mengajarkan dua macam bentuk shalat, yang disebut shalat tarek dan shalat daim.
Shalat tarek adalah shalat thariqah, diatas sedikit dari syari’at. Shalat tarek
diperuntukkan bagi orang yang belum mampu untuk sampai pada tingkatan
Manunggaling Kawula Gusti, sedang shalat daim merupakan shalat yang tiada putus
sebagai efek dari kemanunggalannya. Sehingga shalat daim merupakan hasil dari
pengalaman batin atau pengalaman spiritual. Ketika seseorang belum sanggup
melakukan hal itu, karena masih adanya hijab batin, maka yang harus dilakukan
adalah shalat tarek. Shalat tarek masih terbatas dengan adanya lima waktu
shalat, sedang shalat daim adalah shalat yang tiada putus sepanjang hayat,
teraplikasi dalam keseluruhan tindakan keseharian ( penambahan, mungkin efeknya
adalah berbentuk suci hati, suci ucap, suci pikiran ); pemaduan hati, nalar,
dan tindakan ragawi.
Kata “tarek” berasal dari
kata Arab “tarki” atau “tarakki” yang memiliki arti pemisahan. Namun maksud
lebih mendalam adalah terpisahnya jiwa dari dunia, yang disusul dengan tanazzul
(manjing)-nya al-Illahiyah dalam jiwa. Shalat tarek yang dimaksud di sini
adalah shalat yang dilakukan untuk dapat melepaskan diri dari alam kematian
dunia, menuju kemanunggalan. Sehingga menurut Syekh Siti Jenar, shalat yang
hanya sekedar melaksanakan perintah syari’at adalah tindakan kebohongan, dan
merupakan kedurjanaan budi.
Pengambilan shalat tarek
ini berasal dari Kitab Wedha Mantra bab 221; Shalat Tarek Limang Wektu. (Sang
Indrajit: 1979, hlm. 63-66).
Keterangan bagi yang
mengamalkan ilmu shalat tarek lima waktu ini.
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan dengan apa adanya dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang bertanda kutip hanyalah arti untuk memudahkan pemahaman. Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-kalimat asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman dan terjemahan diatas.(penulisnya wanti-wanti banget). Pelaksanaan shalat tarek bisa saja diamalkan bersamaan dengan shalat syari’at sebagaimana biasa, bisa juga dilaksanakan secara terpisah. Hanya saja terdapat perbedaan dalam hal wudlunya. Jika dalam shalat syari’at, anggota wudhu yang harus dibasuh adalah wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki, sementara dalam shalat tarek adalah di samping tempat-tempat tersebut, harus juga membasuh seluruh rambut, tempat-tempat pelipatan anggota tubuh, pusar, dada, jari manis, telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar tumbuhnya rambut (Jawa; unyeng-unyengan). Walhasil wudlu untuk shalat tarek sama halnya dengan mandi besar (junub/jinabat).
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan dengan apa adanya dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang bertanda kutip hanyalah arti untuk memudahkan pemahaman. Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-kalimat asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman dan terjemahan diatas.(penulisnya wanti-wanti banget). Pelaksanaan shalat tarek bisa saja diamalkan bersamaan dengan shalat syari’at sebagaimana biasa, bisa juga dilaksanakan secara terpisah. Hanya saja terdapat perbedaan dalam hal wudlunya. Jika dalam shalat syari’at, anggota wudhu yang harus dibasuh adalah wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki, sementara dalam shalat tarek adalah di samping tempat-tempat tersebut, harus juga membasuh seluruh rambut, tempat-tempat pelipatan anggota tubuh, pusar, dada, jari manis, telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar tumbuhnya rambut (Jawa; unyeng-unyengan). Walhasil wudlu untuk shalat tarek sama halnya dengan mandi besar (junub/jinabat).
Bahwa kematian orang yang
menerapkan ilmu ini masih terhenti pada keduniaan, akan tetapi sudah
mendapatkan balasan surga sendiri. Maka paling tidak ujaran-ujaran shalat tarek
ini hendaknya dihafalkan, jangan sampai tidak, agar memperoleh kesempurnaan
kematian.
Bagi yang akan membuktikan, siapa saja yang sudah melaksanakan ilmu ini, dapat saja dibuktikan. Ketika kematian jasadnya didudukkan di daratan (di atas tanah), di kain kafan serta diberi kain lurub (penutup) serta selalu ditunggu, kalau sudah mendapatkan dan sampai tujuh hari, bisa dibuka, niscaya tidak akan membusuk, (bahkan kalau iradah dan qudrahnya sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam kafan tersebut sudah sirna. Kalau dikubur dengan posisi didudukkan, maka setelah mendapat tujuh hari bisa digali kuburnya, niscaya jasadnya sudah sirna, dan yang dikatakan bahwa sudah menjadi manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang menerapkan ilmu ini, sudah menjadi manusia sejati.
Bagi yang akan membuktikan, siapa saja yang sudah melaksanakan ilmu ini, dapat saja dibuktikan. Ketika kematian jasadnya didudukkan di daratan (di atas tanah), di kain kafan serta diberi kain lurub (penutup) serta selalu ditunggu, kalau sudah mendapatkan dan sampai tujuh hari, bisa dibuka, niscaya tidak akan membusuk, (bahkan kalau iradah dan qudrahnya sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam kafan tersebut sudah sirna. Kalau dikubur dengan posisi didudukkan, maka setelah mendapat tujuh hari bisa digali kuburnya, niscaya jasadnya sudah sirna, dan yang dikatakan bahwa sudah menjadi manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang menerapkan ilmu ini, sudah menjadi manusia sejati.
Sedangkan tentang ilmu
ini, bukanlah manusia yang mengajarkan, cara mendapatkannya adalah hasil dari
laku-prihatin, berada di dalam khalwat (meditasi, mengheningkan cipta, menyatu
karsa dengan Tuhan sebagaimana diajarkan Syekh Siti Jenar).
Tentang anjuran untuk
pembuktian di atas, sebenarnya tidak diperlukan, sebab yang terpenting adalah
penerapan pada diri kita masing-masing. Justru pembuktian paling efektif adalah
jika kita sudah mengaplikasikan ilmu tersebut. Apalagi pembuktian seperti itu
jika dilaksanakan akan memancing kehebohan, sebagaimana terjadi dalam kasus
kematian Syekh Siti Jenar serta para muridnya.
TIPULUH SATU
Shalat Subuh
Shalat Subuh
Niat yang paling awal,
“Niyatingsun shalat, roh Kudus kang shalat, iya iku rohing Allah. Allah iku
lungguh ana ing paningal, shalat iku sajrone shalat ana gusti, sajroning gusti
ana sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajro-ning urip
ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing awakku.”
(Aku berniat shalat, roh
Kudus yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Allah. Allah yang menempati
penglihatan, shalat yang di dalam shalat itu ada gusti, di dalam gusti ada
sukma, di dalam sukma ada nyawa, di dalam nyawa terdapat kehidupan, di dalam kehidupan
terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar tetap
mantap mengerti akan diriku sendiri).
Malaikatnya adalah
Haruman (malaikat Rumman), memujinya dengan “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun
shalat, sirku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep madhep langgeng
weruh ing sirku.”
(Aku berniat shalat, sir
[rahasia]-ku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap
menghadap dengan abadi mengerti akan sir [rahasia]-ku).
Malaikatnya Haruman,
pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “ya
Rajamu, ya Rajaku.” (Arab; Ya maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah,
darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah
giri-giri Allah, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,”
(Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah,
cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah
wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.” (Sungguh sudah kena Tuhanku,
sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan
dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah
kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH DUA
Shalat Luhur
Shalat Luhur
Niat yang paling awal,
“Niyatingsun shalat, roh idlafi kang shalat, iya iku rohing Pangeran. Pangeran
iku lungguhe ana ing kaketek, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana
nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu
akbar, tetep mantep weruh ing Pangeranku.” (Aku berniat shalat, roh Idlafi yang
melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Tuhan. Tuhan yang menempati ketiak, shalat
yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam
sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan
terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap
mantap mengerti akan Tuhanku). Malaikatnya adalah Jabarail (malaikat Jibril),
memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun
shalat, kang shalat osikku, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep
langgeng weruh ing osikku.” (Aku berniat shalat, yang shalat bisikan dan gerak
hatiku, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan
abadi mengerti akan bisikan nuraniku).
Malaikatnya Jabarail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Malaikatnya Jabarail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya
Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah,
darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah
giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe
jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam
Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah
wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena
Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan
dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH TIGA
Shalat ‘Ashar
Shalat ‘Ashar
Niat yang paling awal,
“Niyatingsun shalat, roh Abadi kang shalat, iya iku rohing Rasul. Rasul iku
lungguhe ana ing poking ilat, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana
nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu
akbar, tetep mantep weruh ing Rasulku.”
(Aku berniat shalat, roh
keabadian yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Utusan. Utusan Tuhan yang
menempati ujung lidah, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam
gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya
kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari
Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Utusanku).
Malaikatnya adalah
Mikail, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun
shalat, angen-angenku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep
madhep langgeng weruh ing angen-angenku.”
(Aku berniat shalat,
angan-anganku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap
menghadap dengan abadi mengerti akan angan-anganku).
Malaikatnya Mikail,
pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya
Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah,
darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah
giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe
jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam
Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah
wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.” (Sungguh sudah kena Tuhanku,
sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan
dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah
kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH EMPAT
Shalat Maghrib
Shalat Maghrib
Niat yang paling awal,
“Niyatingsun shalat, rokhani kang shalat, iya iku rohing Muhammad. Muhammad iku
lungguhe ana ing talingan, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana
nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu
akbar, tetep mantep weruh ing Muhammadku.”
(Aku berniat shalat,
rohani yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Muhammad. Muhammad yang
menempati ujung telinga, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam
gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya
kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari
Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Muhammadku).
Malaikatnya adalah
Israfil, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun
shalat, tekadku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep
langgeng weruh ing tekadku.”
(Aku berniat shalat,
tekadku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap
menghadap dengan abadi mengerti akan tekadku).
Malaikatnya Israfil,
pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya
Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah,
darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah
giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe
jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam
Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah
wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena
Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan
dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah
kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH LIMA
Shalat ‘Isya’
Shalat ‘Isya’
Niat yang paling awal,
“Niyatingsun shalat, roh Robbi kang shalat, iya iku rohing urip. urip iku
lungguhe ana ing napas, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa,
sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar,
tetep mantep weruh ing uripku.”
(Aku berniat shalat, roh
Pembimbing yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya kehidupan. Utusan Tuhan
yang menempati napas, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti
terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya
kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari
Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan kehidupanku).
Malaikatnya adalah
Izrail, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun
shalat, karepku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep
langgeng weruh ing karepku.”
(Aku berniat shalat,
keinginanku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap
menghadap dengan abadi mengerti akan keinginanku).
Malaikatnya Izrail,
pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya
Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah,
darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah
giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe
jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam
Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah
wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena
Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan
dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah
kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH ENAM
“Inilah shalat satu raka’at salam, yang dilaksanakan setiap tanggal (bulan purnama), dengan waktu tengah malam tepat :
“Inilah shalat satu raka’at salam, yang dilaksanakan setiap tanggal (bulan purnama), dengan waktu tengah malam tepat :
a. Inilah niatnya,
“Ushalli urip dzatullah Allahu akbar” (Aku berniat melaksanakan shalat
kehidupan dzatullah, Allahu akbar).
b. Membaca surat al-Fatihah,
kemudian membaca ayat dengan menyebut, “aku pan Sukma” (Aku sang pemilik
Sukma).
c. Melakukan ruku’ dengan
menyebut, “langgeng urip dzatullah” (Kehidupan abadi dzatullah).
d. Sujud dengan
mengucapkan, “ibu bumi dzatullah”.
e. Duduk di antara dua
sujud dengan doa, “langgeng urip dzatullah tan kena pati” (kehidupan abadi
dzatullah yang tidak terkena kematian).
f. Sujud lagi dengan
bacaan, “Ibu bumi dzatullah”.
g. Tahiyat dengan
membaca, “Urip dzatullah”.
h. Membaca syahadat
dengan bacaan, “Ashadu uripingsun lan sukma” (Ashadu kehidupanku dan Sukma).
I. Salam dengan bacaan,
“Ingsun kang agung, ingsun kang memelihara kehidupan yang tidak terkena
kema-tian.
j. Membaca doa,
“Allahumma papan tulis hadhdhari langgeng urip tan kena pati” (Allahumma papan
tulis segala sesuatu yang abadi hidup yang tak pernah terkena mati).
k. Kemudian berdoa dalam
hati, “Ingsun kang agung ingsun kang wisesa suci dhiriningsun” (ingsun yang
Agung, ingsun yang memelihara, suci diriku sendiri [ingsun]).
Dalam Islam dikenal shalat
satu raka’at, namun itu hanya sebagian dari shalat witir (shalat penutup akhir
malam dengan raka’at yang ganjil).
Shalat satu raka’at salam
dalam ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah shalat witir, namun shalat ngatunggal,
atau shalat yang dilaksanakan dalam rangka mencapai kemanunggalan diri dengan
Gusti.
Bacaan-bacaan shalat
ngatunggal tidak semuanya memakai bahasa Arab, hanya lafazh takbir dan
al-Fatihah serta ayat-ayat yang dibaca satu madzhab fiqih Islam sekalipun
(yakni madzhab Imam Hanafi, dan di Indonesia terutama madzhab Hasbullah Bakri),
bacaan dalam shalat selain takbir dan al-Fatihah boleh diucapkan dengan bahasa
‘ajam (selain bahasa Arab).
TIGA PULUH TUJUH
“Shalat lima kali sehari, puji dan dzikir itu adalah kebijaksanaan dalam hati menurut kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang akan menerima, dengan segala keberanian yang dimiliki.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33).
TIGA PULUH TUJUH
“Shalat lima kali sehari, puji dan dzikir itu adalah kebijaksanaan dalam hati menurut kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang akan menerima, dengan segala keberanian yang dimiliki.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33).
Syekh Siti Jenar
menuturkan bahwa sebenarnya shalat sehari-hari itu hanyalah bentuk tata krama
dan bukan merupakan shalat yang sesungguhnya, yakni shalat sebagai wahana
memasrahkan diri secara total kepada Allah dalam kemanunggalan. Oleh karenanya
dalam tingkatan aplikatif, pelaksanaannya hanya merupakan kehendak
masing-masing pribadi.
Demikian pula, masalah
salah dan benarnya pelaksanaan shalat yang lima waktu dan ibadah sejenisnya,
bukanlah esensi dari agama. Sehingga merupakan hal yang tidak begitu penting
untuk menjadi perhatian manusia. Namanya juga sebatas krama, yang tentu saja
masing-masing orang memiliki sudut pandang sendiri-sendiri.
TIGA PULUH DELAPAN
“Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak. Lain dengan Zat Allah yang bersama diriku. Nah, saya inilah Yang Maha Suci, Zat Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibayangkan.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 37).
“Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak. Lain dengan Zat Allah yang bersama diriku. Nah, saya inilah Yang Maha Suci, Zat Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibayangkan.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 37).
Pada kritik yang
dikemukakan Syekh Siti Jenar terhadap Islam formal Walisanga tersebut, namun
jelas penolakan Syekh Siti Jenar atas model dan materi dakwah Walisanga.
Pernyataan tersebut sebenarnya berhubungan erat dengan pernyataan-pernyataan
pada point 37 diatas, dan juga pernyataan mengenai kebohongan syari’at yang
tanpa spiritualitas di bawah.
Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan shalat, sebenarnya akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu keheningan dan kejernihan busi, yang melahirkan akhlaq al-karimah. Sifat khusyu’nya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi pesan shalat dalam kehidupan keseharian.
Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan shalat, sebenarnya akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu keheningan dan kejernihan busi, yang melahirkan akhlaq al-karimah. Sifat khusyu’nya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi pesan shalat dalam kehidupan keseharian.
Sehingga dalam al-Qur’an,
orang yang melaksanakan shalat namun tetap memiliki sifat riya’ dan enggan
mewujudkan pesan kemanusiaan disebut mengalami celaka dan mendapatkan siksa
neraka Wail. Sebab ia melupakan makna dan tujuan shalat (QS. Al-Ma’un/107;4-7).
Sedang dalam Qs.Al-Mukminun/23; 1-11 disebutkan bahwa orang yang mendapatkan
keuntungan adalah orang yang shalatnya khusyu’. Dan shalat yang khusyu’ itu
adalah shalat yang disertai oleh akhlak berikut : (1) menghindarkan diri dari
hal-hal yang sia-sia dan tidak berguna, juga tidak menyia-siakan waktu serta
tempat dan setiap kesempatan; (2) menunaikan zakat dan sejenisnya; (3) menjaga
kehormatan diri dari tindakan nista; (4) menepati janji dan amanat serta
sumpah; (5) menjaga makna dan esensi shalat dalam kehidupannya. Mereka itulah
yang disebutkan akan mewarisi tempat tinggal abadi; kemanunggalan.
Namun dalam aplikasi
keseharian, apa yang terjadi? Orang muslim yang melaksanakan shalat dipaksa
untuk berdiam, konsentrasi ketika melaksanakan shalat. Padahal pesan
esensialnya adalah, agar pikiran yang liar diperlihara dan digembalakan agar
tidak liar. Sebab pikiran yang liar pasti menggagalkan pesan khusyu’ tersebut.
Khusyu’ itu adalah buah dari shalat. Sedangkan shalat hakikatnya adalah
eksperimen manunggal dengan Gusti. Manunggal itu adalah al-Islam, penyerahan
diri . Sehingga doktrin manunggal bukanlah masalah paham qadariyah atau
jabariyah, fana’ atau ittihad.
Namun itu adalah inti
kehidupan. Khusyu’ bukanlah latihan konsentrasi, bukan pula meditasi.
Konsentrasi dan meditasi hanya salah satu alat latihan menggembalaan pikiran.
Wajar jika Syekh Siti Jenar menyebut ajaran para wali sebagai ajaran yang telah
dipalsukan dan menyebut shalat yang diajarkan para Wali adalah model shalatnya
para pencuri.
Puasa Zakat dan Haji
TIGA PULUH SEMBILAN
“Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Mekah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar. Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini tidak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.” .
“Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Mekah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar. Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini tidak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.” .
Syekh Siti jenar
menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah “omong kosong
belaka”, atau “wes palson kabeh”(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini
sangat amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan bahwa
Syekh Siti Jenar menolak syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas
syari’at tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”,
yg artinya “itu sudah dipalsukan atau dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda
pengertiannya dengan kata “iku palsu kabeh” atau “itu palsu semua.”
Jadi yang dikehendaki Syekh
Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari’at Islam pada masa Walisanga telah
mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian syari’at itu.
Semuanya hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat
menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan yang muncul dari
aplikasi formal syariat tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar,
syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa penyaksian atau
kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur pengalaman spiritual.
Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi dan hanya
untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan keburukan di bumi. Apalagi
sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi,
justru syariat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini
juga).Yang mengajarkan syari’at juga tidak lagi memahami makna dan manfaat
syari’at itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syari’at yg
hidup dan berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi hampa makna dan menambah
gersangnya kehidupan rohani manusia.
Nah, yg dikritik Syekh
Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu. Shalat
haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk
ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya
secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat
sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu
berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya,
karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya. Itulah pula yang menjadi rangkaian
antara iman, Islam, dan Ihsan. Lalu bagaimana posisi shalat lima waktu? Shalat
lima waktu dalam hal ini menjadi tata krama syari’at atau shalat nominal.
Makna Ihsan
EMPAT PULUH
“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.”
“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.”
EMPAT PULUH SATU
“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”.
“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”.
Dua kutipan di atas
adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa sifatullah
merupakan sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu
hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si ‘Abid
dalam keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Ma’bud. Hanya
sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, istiqamah,
sabar dan tidak mudah menyerah dalam menyerukan kebenaran.
Sebab Syekh Siti Jenar
merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani, bukan selain-NYA.
Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan Rasulullah
adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat
Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan
memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA Allah.
“Persaksian langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal.
EMPAT PULUH DUA
“Bonang, kamu mengundang saya datang di Demak. Saya malas untuk Datang, sebab saya merasa tidak di bawah atau diperintah oleh siapapun, kecuali oleh hati saya. Perintah hati itu yang saya turutinya, selain itu tidak ada yang saya patuhi perintahnya. Bukankah kita sesama mayat? Mengapa seseorang memerintah orang lain? Manusia itu sama satu dengan yang lain, sama-sama tidak mengetahui siapa Hyang Sukma itu. Yang disembah itu hanya nama-Nya saja. Meskipun demikian ia bersikap sombong, dan merasa berkuasa memerintah sesama bangkai.” .
“Bonang, kamu mengundang saya datang di Demak. Saya malas untuk Datang, sebab saya merasa tidak di bawah atau diperintah oleh siapapun, kecuali oleh hati saya. Perintah hati itu yang saya turutinya, selain itu tidak ada yang saya patuhi perintahnya. Bukankah kita sesama mayat? Mengapa seseorang memerintah orang lain? Manusia itu sama satu dengan yang lain, sama-sama tidak mengetahui siapa Hyang Sukma itu. Yang disembah itu hanya nama-Nya saja. Meskipun demikian ia bersikap sombong, dan merasa berkuasa memerintah sesama bangkai.” .
Ihsan berasal dari
kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin seluruh
eksistensi manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan menentang
ketundukan membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah
atau Sang Pribadi. Oleh karena itu, sesama manusia dan makhluk saling memiliki
kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya
pasti membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat
yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan atas
eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia
akan Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa
“Sesungguhnya mereka tidak mengerti”).
Karena buta terhadap
Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering membabi-buta
merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh Syekh Siti
Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi
Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat tergerusnya
ke-Ilahian ke dalam kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg
shalih dan mengatasnamakan demi penegakan syari’at Islam.
EMPAT PULUH TIGA
“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.”
“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.”
Pribadi adalah pancaran
roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya terwujud dengan
proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi
tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itu
sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan keselamatan yg
nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat oleh
rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu adalah
efek bagi terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran manusia.
Sehingga proses terjadinya
keselamatan dan kesejahteraan manusia berlangsung secara natural (sunnatullah),
bukan karena hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan ekonomi, politik,
rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi.
Maka dapat diketahui bahwa
teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir dengan sendirinya
sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia mengaplikasikannya, akan
menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan serta perbudakan
kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin
mencari kekuasaan, memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu
saja pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan,
perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.
EMPAT PULUH EMPAT
“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba amisesa.” .
“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba amisesa.” .
Pernyataan Syekh Siti
Jenar di atas sengaja penulis nukilkan dalam bahasa aslinya, dikarenakan
multi-interpretasi yang dapat muncul dari mutiara ucapan tersebut. Secara garis
besar maknanya adalah, “Pernyataan roh, yang bertemu-hadapan dengan Allah, yang
menyembah Allah, yang disembah Allah, yang meliputi segala sesuatu.”
Inilah adalah salah satu
sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yang maksudnya adalah sukma (roh di
kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu
diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yang disebut
mir’ah al-haya’ (cermin yang memalukan). Bagi orang yang sudah bisa mengendalikan
hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul, yang
menampakkan kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah
terbuka maka tirai-tirai rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian
dirinya beradu-satu (adhep-idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”. Maka jadilah
dia yang menyembah sekaligus yang disembah, sehingga dirinya sebagai
kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang
dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.
EMPAT PULUH LIMA
“Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman yang jika sudah diminta oleh yang empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancurlebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur, dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.” .
“Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman yang jika sudah diminta oleh yang empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancurlebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur, dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.” .
Menurut Syekh Siti Jenar,
baik pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat dijadikan pegangan dan
pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya yang
bisa dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulana, Zat Yang
Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu, dan akal adalah pintu bagi
ego. Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib Memimpin.
Karena itu Dialah yang
menunjukkan semua budi baik. Jadi pencaindera harus dibimbing oleh budi dan
budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi.
Sedangkan Yang Maha Budi
itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah
hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widhi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulana,
dan sebagainya. Semua itu produk akal sehingga nama tidak perlu disembah.
Jebakan nama dalam syari’at justru malah merendahkan Nama-Nya.
EMPAT PULUH LIMA
“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sungsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan baru, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yang artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.” .
“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sungsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan baru, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yang artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.” .
Dari pernyataan Syekh
Siti Jenar tersebut, nampak bahwa Syekh Siti Jenar memandang alam semesta
sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia). Sekurangnya kedua hal
itu merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang sama-sama akan mengalami
kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi.
Pada sisi yang lain,
pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut juga memiliki muatan makna pernyataan
sufistik, “Barangsiapa mengnal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab
bagi Syekh Siti Jenar, manusia yang utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag
bagi penyanda, termasuk wahana penyanda alam semesta. Itulah sebabnya
pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab manusia. Maka, mikrokosmos
manusia tidak lain adalah blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk
semesta.
Bagi Syekh Siti Jenar,
manusia terdiri dari jiwa dan raga yang intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan
dzat Tuhan (sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yang
dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan
tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yang suatu
saat setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan
kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan rohnya yang menjadi tajalli Ilahi,
manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
Manusia tidak lain adalah
ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab af’al
digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al yang menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an
dzat, ke mana af’al itu dipancarkan.
EMPAT PULUH LIMA
“Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yang dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yang mengatakan bahwa yang baik dari Allah dan yang buruk selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situlah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yang dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (QS. Ash-Shaffat:96), yang maknanya Allah yang menciptakan engkau dan segala apa yang engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yang terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yang terlempar dari tangan saya itu adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil Wa ma ramaitaidz ramaita walakinna Allaha rama (QS. Al-Anfal:17), maksudnya bukanlah engkau yang melempar, melainkan Allah jua yang melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-adzimi. Rasulullah bersabda la tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi, yang maksudnya tidak bergerak satu dzarah pun melainkan atas izin Allah.” .
“Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yang dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yang mengatakan bahwa yang baik dari Allah dan yang buruk selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situlah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yang dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (QS. Ash-Shaffat:96), yang maknanya Allah yang menciptakan engkau dan segala apa yang engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yang terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yang terlempar dari tangan saya itu adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil Wa ma ramaitaidz ramaita walakinna Allaha rama (QS. Al-Anfal:17), maksudnya bukanlah engkau yang melempar, melainkan Allah jua yang melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-adzimi. Rasulullah bersabda la tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi, yang maksudnya tidak bergerak satu dzarah pun melainkan atas izin Allah.” .
EMPAT PULUH DELAPAN
Menurut Syekh Siti Jenar, bahwa al-Fatihah adalah termasuk salah satu kunci sahnya orang yang menjalani laku manunggal (ngibadah). Maka seseorang wajib mengetahui makna mistik surat al-Fatihah. Sebab menurut Syekh Siti Jenar, lafal al-Fatihah disebut lafal yang paling tua dari seluruh sabda-Sukma. Inilah tafsir mistik al-Fatihah Syekh Siti Jenar. .
Menurut Syekh Siti Jenar, bahwa al-Fatihah adalah termasuk salah satu kunci sahnya orang yang menjalani laku manunggal (ngibadah). Maka seseorang wajib mengetahui makna mistik surat al-Fatihah. Sebab menurut Syekh Siti Jenar, lafal al-Fatihah disebut lafal yang paling tua dari seluruh sabda-Sukma. Inilah tafsir mistik al-Fatihah Syekh Siti Jenar. .
Bis………………………… kedudukannya………….
ubun-ubun.
Millah………………………kedudukannya….. ………rasa.
Al-Rahman-al-Rahim…….kedudukannya……………penglihatan (lahir batin).
Al-hamdu…………………kedudukannya………… …hidupmu (manusia).
Lillahi………………………kedudukannya…. ……….cahaya.
Rabbil-‘alamin…………….kedudukannya…………..n yawa dan napas.
Al-Rahman al-Rahim…….kedudukannya……………leher dan jakun.
Maliki……………………..kedudukannya…… ………dada.
Yaumiddin………………..kedudukannya……… ……jantung (hati).
Iyyaka……………………kedudukannya…….. …….hidung.
Na’budu…………………..kedudukannya…….. …….perut.
Waiyyaka nasta’in………kedudukannya…………….dua bahu.
Ihdinash………………….kedudukannya…….. ……..sentil (pita suara).
Shiratal…………………..kedudukannya……. ………lidah.
Mustaqim…………………kedudukannya……… ……tulang punggung (ula-ula).
Shiratalladzina…………..kedudukannya……… …….dua ketiak.
An’amta…………………..kedudukannya…….. ……..budi manusia.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ………tiangnya (pancering) hati.
Ghairil…………………….kedudukannya…… ……….bungkusnya nurani.
Maghdlubi………………..kedudukannya……… …….rempela/empedu.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ……….dua betis.
Waladhdhallin……………kedudukannya………. ……mulut dan perut (panedha).
Amin………………………kedudukannya……. ………penerima.
Millah………………………kedudukannya….. ………rasa.
Al-Rahman-al-Rahim…….kedudukannya……………penglihatan (lahir batin).
Al-hamdu…………………kedudukannya………… …hidupmu (manusia).
Lillahi………………………kedudukannya…. ……….cahaya.
Rabbil-‘alamin…………….kedudukannya…………..n yawa dan napas.
Al-Rahman al-Rahim…….kedudukannya……………leher dan jakun.
Maliki……………………..kedudukannya…… ………dada.
Yaumiddin………………..kedudukannya……… ……jantung (hati).
Iyyaka……………………kedudukannya…….. …….hidung.
Na’budu…………………..kedudukannya…….. …….perut.
Waiyyaka nasta’in………kedudukannya…………….dua bahu.
Ihdinash………………….kedudukannya…….. ……..sentil (pita suara).
Shiratal…………………..kedudukannya……. ………lidah.
Mustaqim…………………kedudukannya……… ……tulang punggung (ula-ula).
Shiratalladzina…………..kedudukannya……… …….dua ketiak.
An’amta…………………..kedudukannya…….. ……..budi manusia.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ………tiangnya (pancering) hati.
Ghairil…………………….kedudukannya…… ……….bungkusnya nurani.
Maghdlubi………………..kedudukannya……… …….rempela/empedu.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ……….dua betis.
Waladhdhallin……………kedudukannya………. ……mulut dan perut (panedha).
Amin………………………kedudukannya……. ………penerima.
Tafsir mistik Syekh Siti
Jenar tetap mengacu kepada Manunggaling Kawula-Gusti, sehingga baik badan wadag
manusia sampai kedalaman rohaninya dilambangkan sebagai tempat masing-masing
dari lafal surat al-Fatihah. Tentu saja pemahaman itu disertai dengan
penghayatan fungsi tubuh seharusnya masing-masing, dikaitkan dengan makna
surahi dalam masing-masing lafadz, maka akan ditemukan kebenaran tafsir
tersebut, apalagi kalau sudah disertai dengan pengalaman rohani/spiritual yang
sering dialami.
Konteks pemahaman yang
diajukan Syekh Siti Jenar adalah, bahwa al-Qur’an merupakan “kalam” yang
berarti pembicaraan. Jadi sifatnya adalah hidup dan aktif. Maka taksir mistik
Syekh Siti Jenar bukan semata harfiyah, namun di samping tafsir kalimat, Syekh
Siti Jenar menghadirkan tafsir mistik yang bercorak menggali makna di balik
simbol yang ada (dalam hal ini huruf, kalimat dan makna historis).
EMPAT PULUH SEMBILAN
“Di di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yang cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah…Ketahuilah juga, apa yang dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dengan seorang manusia biasa seperti yang lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam Ada sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.” .
“Di di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yang cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah…Ketahuilah juga, apa yang dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dengan seorang manusia biasa seperti yang lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam Ada sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.” .
Syekh Siti Jenar
menyatakan secara tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki hidup dan Ada
dalam dirinya sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehingga
didapatkan konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan sikap
perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu satu hal yang selalu tampil dalam
setiap ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih
berada di dunia ini, sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia
ini, akan dialami kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika
manusia dilahirkan. Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna.
(bandingkan dengan Zotmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, di mana roh
suci terjerat badan wadag yang dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yang
menguburkan kebenaran sejati, dan berusaha mengubur kesadaran Ingsun Sejati.
LIMA PULUH
“Syekh Siti Jenar berpendapat dan mengganggap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat Rasul yang sejati, sifat Muhammad yang kudus. Ia berpendapat juga, bahwa hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yang jika sudah diminta oleh empunya akan menjadi tanah dan membusuk, hancur-lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup.”
“Syekh Siti Jenar berpendapat dan mengganggap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat Rasul yang sejati, sifat Muhammad yang kudus. Ia berpendapat juga, bahwa hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yang jika sudah diminta oleh empunya akan menjadi tanah dan membusuk, hancur-lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup.”
“Demikian pula budi,
pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat
dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa
tidur, dan sering kali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak
dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju
perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan,
sehingga menodai nama dan citranya.” .
“Kalau kamu ingin
berjumpa dengan dia, saya pastikan kamu tidak akan menemuinya, sebab Kyai Ageng
berbadan sukma, mengheningkan puja ghaib. Yang dipuja dan yang memuja, yang
dilihat dan melihat yang bersabda sedang bertutur, gerak dan diam bersatu
tunggal. Nah, buyung yang sedang berkunjung, lebih baik kembali saja.” .
Ini adalah pandangan
Syekh Siti Jenar tentang psikologi dan pengetahuan. Menurut Syekh Siti Jenar,
sumber ilmu pengetahuan itu terdiri atas tiga macam; pancaindera, akal-nalar,
dan intuisi (wahyu). Hanya saja pancaindera dan nalar tidak bisa dijadikan
pedoman pasti. Hanya intuisi yang berasal dari orang yang sudah manunggallah
yang betul-betul diandalkan sebagai pengetahuan.
Oleh karenanya, konsistensi
dengan pendapat tersebut, Syekh Siti Jenar menegaskan bahwa baginya Muhammad
bukan semata sosok utusan fisik, yang hanya memberikan ajaran Islam secara
gelondongan, dan setelah wafat tidak memiliki fungsi apa-apa, kecuali hanya
untuk diimani.
Justru Syekh Siti Jenar
menjadikan Pribadi Rasulullah Muhammad sebagai roh yang bersifat aktif. Dalam
memahami konsep syafa’at, Syekh Siti Jenar berpandangan bahwa syafa’at tidak
bisa dinanti dan diharap kehadirannya kelak di kemudian hari. Justru syafa’at
Muhammad hanya terjadi bagi orang yang menjadikan dirinya Muhammad,
me-Muhammad-kan diri dengan keseluruhan sifat dan asmanya. Rahasia asma Allah
dan asma Rasulullah adalah bukan hanya untuk diimani, tetapi harus merasuk
dalam Pribadi, menyatu-tubuh dan rasa. Itulah perlunya Nur Muhammad, untuk
menyatu cahaya dengan Sang Cahaya. Dan itu semua bisa terjadi dalam proses
Manunggaling Kawula-Gusti.
LIMA PULUH SATU
“Bukan kehendak, angan-angan, bukan ingatan, pikir atau niat, hawa nafsu pun bukan, bukan juga kekosongan atau kehampaan. Penampilanku bagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat busuk bercampur debu, napasku terhembus ke segala penjuru dunia, tanah, api, air, kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru. Syekh Siti Jenar belum mau menuruti perintah sultan. Hal ini disebabkan karena bumi, langit, dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia. Manusialah yang memberikan nama. Buktinya sebelum saya lahir tidak ada.
“Bukan kehendak, angan-angan, bukan ingatan, pikir atau niat, hawa nafsu pun bukan, bukan juga kekosongan atau kehampaan. Penampilanku bagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat busuk bercampur debu, napasku terhembus ke segala penjuru dunia, tanah, api, air, kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru. Syekh Siti Jenar belum mau menuruti perintah sultan. Hal ini disebabkan karena bumi, langit, dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia. Manusialah yang memberikan nama. Buktinya sebelum saya lahir tidak ada.
Syekh Siti Jenar
menghubungkan antara alam yang diciptakan Allah, dengan konteks kebebasan dan
kemerdekaan manusia. Kebebasan alam mencerminkan kebebasan manusia. Segala
sesuatu harus berlangsung dan mengalami hal yang natural (alami), tanpa
rekayasa, tanpa pemaksaan iradah dan qudrah. Maka ketidakmauannya memenuhi
penggilan sultan, dikarenakan dirinya hanyalah milik Dirinya Sendiri. Jadi
seluruh manusia masing-masing mamiliki hak mengelola alam. Alam bukan milik
negara atau raja, namun milik manusia bersama. Maka setiap orang harus memiliki
dan diberi hak kepemilikan atas alam. Ada yang harus dimiliki secara privat dan
ada juga yang harus dimiliki secara kolektif.
Dari wejangan Syekh Siti
Jenar tersebut, juga diketahui bahwa hakikat seluruh alam semesta adalah
tajaliyat Tuhan (penampakan wajah Tuhan). Adapun mengenai alam yang kemudian memiliki
nama, bukanlah nama yang sesungguhnya, sebab segala sesuatu yang ada di bumi
ini, manusialah yang memberi nama, termasuk nama Tuhanpun, dalam pandangan
Syekh Siti Jenar, diberikan oleh manusia. Dan nama-nama itu seluruhnya akan
kembali kepada Sang Pemilik Nama yang sesungguhnya. . Maka memang nama itu
perlu, namun jangan sampai menjebak manusia hanya untuk memperdebatkan nama.
Tarekat dan Jalan Mistik
Syekh Siti Jenar
LIMA PULUH DUA
“Adapun asalnya kehidupan itu, berdasar kitab Ma’rifat al’iman, seperti dijelaskan di bawah ini, terbebani 16 macam titipan;
Yang dari Muhammad : roh, napas.
Yang dari Malaikat : budi, iman.
Yang dari Tuhan : pendengaran, penciuman, pengucapan, penglihatan.
Yang dari Ibu : kulit, daging, darah, bulu.
Yang dari Bapak : tulang, sungsum, otot, otak.
“Adapun asalnya kehidupan itu, berdasar kitab Ma’rifat al’iman, seperti dijelaskan di bawah ini, terbebani 16 macam titipan;
Yang dari Muhammad : roh, napas.
Yang dari Malaikat : budi, iman.
Yang dari Tuhan : pendengaran, penciuman, pengucapan, penglihatan.
Yang dari Ibu : kulit, daging, darah, bulu.
Yang dari Bapak : tulang, sungsum, otot, otak.
Inilah maksud dari lafal
“kulusyaun halikun ilawajahi”, maksudnya semua itu akan rusak kecuali dzat
Allah yang tidak rusak. .
Kitab Ma’rifat al-Iman
adalah karya dari Maulana Ibrahim al-Ghazi, al-Samarqandi, yang menjadi salah
satu sumber bacaan Syekh Siti Jenar.
Kalimat “kulusyaun
halikun ilawajahi” lebih tepatnya berbunyi “kullu syai-in halikun illa wajhahu”
(Segala sesuatu itu pasti hancur musnah, kecuali wajah-Nya (penampakan wajah
Allah)) [QS : Al-Qashashash / 28:88]. Dari kalimat inilah Syekh Siti Jenar
mengungkapkan pendapatnya, bahwa badan wadag akan hancur mengikuti asalnya,
tanah. Sedangkan Ingsun Sejati (Jiwa) mengikuti “illa wajhahu”, (kecuali
wajah-Nya). Ini juga menjadi salah satu inti dan kunci dalam memahami teori kemanunggalan
Syekh Siti Jenar. Maka kata wajhahu di sini diberikan makna Dzatullah.
Bagi Syekh Siti Jenar,
antara Nur Muhammad, Malaikat, dan Tuhan, bukanlah unsur yang saling berdiri
sendiri-sendiri sebagaimana umumnya dipahami manusia. Nur Muhammad dan malaikat
adalah termasuk dalam Ingsun Sejati. Ini berhubungan erat dengan pernyataan
Allah, bahwa segala sesuatu yang diberikan kepada manusia (seperti pendengaran,
penglihatan dan sebagainya) akan dimintakan pertanggungjawabannya kepada Allah,
maksudnya adalah apakah dengan alat titipan itu, manusia bisa manunggal dengan
Allah atau tidak. Sedangkan proses kejadian manusia yang melalui orangtua,
adalah sarana pembuatan jasad fisik, yang di alam kematian dunia, roh berada
dalam penjara badan wadag tersebut.
LIMA PULUH TIGA
“Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir papa, yang tidak memiliki apa-apa. Sebab, engkau yang tidak memiliki apa-apa maka tidak pernah kehilangan apa-apa.” .
“Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir papa, yang tidak memiliki apa-apa. Sebab, engkau yang tidak memiliki apa-apa maka tidak pernah kehilangan apa-apa.” .
Hakikat Zuhud bukanlah
meninggalkan atau mengasingkan diri dari dunia. Zuhud adalah perasaan tidak
memiliki apa-apa terhadap makhluk lain, sebab teologi kepemilikan itu
hakikatnya tunggal. Manusia baru memiliki segalanya ketika ia telah berhasil
Manunggal dengan Gustinya, sebab Gusti adalah Yang Maha Kuasa, otomatis Yang
Maha Memiliki. Sehingga dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sikap yang
realistis adalah perasaan tidak memiliki, karena sebatas itu antara makhluk
(manusia) dengan makhluk lain (apa pun yang bisa ‘dimiliki’ manusia) tidak bisa
saling memiliki dan dimiliki. Karena semua itu merupakan aspek dari
ketunggalan.
Orang yang masih selalu
merasa ‘memiliki’ akan makhluk lain, pasti tidak akan berhasil menjadi salik
(penempuh jalan spiritual) yang akan sampai ke tujuan sejatinya, yakni Allah
Yang Maha Tunggal, karena memang ia belum mampu untuk manunggal. Nah, zuhud
dalam pandangan Syekh Siti Jenar adalah menjadi satu maqamat menuju
kemanunggalan dan menjadi salah satu poros keihsanan dan keikhlasan.
LIMA PULUH EMPAT
“Jika engkau kagum kepada seseorang yang engkau anggap Wali Allah, janganlah engkau terpancang pada kekaguman akan sosok dan perilaku yang diperbuatnya. Sebab saat seseorang berada pada tahap kewalian maka keberadaan dirinya sebagai manusia telah lenyap, tenggelam ke dalam al-Waly. Kewalian bersifat terus-menerus, hanya saja saat Sang Wali tenggelam dalam al-Waly. Berlangsungnya Cuma beberapa saat. Dan saat tenggelam ke dalam al-Waly itulah sang wali benar-benar menjadi pengejawantahan al-Waly. Lantaran itu, sang wali memiliki kekeramatan yang tidak bisa diukur dengan akal pikiran manusia, di mana karamah itu sendiri pada hakikatnya adalah pengejawantahan dari kekuasaan al-Waly. Dan lantaran itu pula yang dinamakan karamah adalah sesuatu di luar kehendak sang wali pribadi. Semua itu semata-mata kehendak-Nya mutlak.
“Jika engkau kagum kepada seseorang yang engkau anggap Wali Allah, janganlah engkau terpancang pada kekaguman akan sosok dan perilaku yang diperbuatnya. Sebab saat seseorang berada pada tahap kewalian maka keberadaan dirinya sebagai manusia telah lenyap, tenggelam ke dalam al-Waly. Kewalian bersifat terus-menerus, hanya saja saat Sang Wali tenggelam dalam al-Waly. Berlangsungnya Cuma beberapa saat. Dan saat tenggelam ke dalam al-Waly itulah sang wali benar-benar menjadi pengejawantahan al-Waly. Lantaran itu, sang wali memiliki kekeramatan yang tidak bisa diukur dengan akal pikiran manusia, di mana karamah itu sendiri pada hakikatnya adalah pengejawantahan dari kekuasaan al-Waly. Dan lantaran itu pula yang dinamakan karamah adalah sesuatu di luar kehendak sang wali pribadi. Semua itu semata-mata kehendak-Nya mutlak.
Kekasih Allah itu ibarat
cahaya. Jika ia berada di kejauhan, kelihatan sekali terangnya. Namun jika
cahaya itu di dekatkan ke mata, mata kita akan silau dan tidak bisa melihatnya
dengan jelas. Semakin dekat cahaya itu ke mata maka kita akan semakin buta
tidak bisa melihatnya. Engkau bisa melihat cahaya kewalian pada diri seseorang
yang jauh darimu. Namun, engkau tidak bisa melihat cahaya kewalian yang
memancar dari diri orang-orang yang terdekat denganmu.” .
Doktrin kewalian Syekh
Siti Jenar sangat berbeda dengan doktrin kewalian orang Islam pada umumnya.
Bagi Syekh Siti Jenar, yang menentukan seseorang itu wali atau bukan hanyalah
pemilik nama al-Waliy, yaitu Allah. Sehingga seorang wali tidak akan pernah
peduli dengan berbagai tetek-bengek pandangan manusia dan makhluk lain
terhadapnya. Demikian pula terhadap orang yang memandang kewalian seseorang.
Syekh Siti Jenar
menasihatkan agar jangan terkagum-kagum dan menetukan kewalian hanya karena
perilaku serta kewajiban yang muncul darinya. Yang harus diingat adalah bahwa
para auliya’ Allah adalah pengejawantahan dari Allah al-Waliy. Sehingga apapun
yang lahir dari wali tersebut, bukanlah perilaku manusia dalam wadagnya, namun
itu adalah perbuatan Allah. Seorang wali dalam pandangan Syekh Siti Jenar tidak
lain adalah manusia yang manunggal dengan al-Waliy dan itu berlangsung
terus-menerus. Hanya saja perlu diingat, setiap tajalliyat-Nya adalah bagian
dari si Wali tersebut, namun tidak semua sisi dan perbuatan si wali adalah
perbuatan atau af’al al-Waliy.
Oleh karena itu sampai di
sini, kita harus menyikapi dengan kritis terhadap sebagian naskah-naskah Jawa
Tengahan yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar pernah mengungkapkan
pernyataan, “di sini tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” serta
ungkapan sebaliknya “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar.” Kisah
yang berhubungan dengan pernyataan tersebut, hanya anekdot atau kisah konyol
dan bukan kisah yang sebenarnya. Dan itu merupakan bentuk penggambaran ajaran
anunggaling Kawula Gusti yang salah kaprah. Pernyataan pertama “di sini tidak
ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” memang benar adanya. Namun
pernyataan kedua, “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar,” tidak
bisa dianggap benar, dan jelas keliru.
Teologi Manunggaling
Kawula Gusti bukanlah teologi Fir’aun yang menganggap kedirian-insaniyahnya
menjadi Tuhan, sekaligus dengan keberadaan manusia sebagai makhluk di dunia
ini. Jadi kita harus ekstra hati-hati dalam memilah dan memilih naskah-naskah
tersebut., sebab banyak juga pernyataan yang disandarkan kepada Syekh Siti
Jenar, namun nyatanya itu bukan berasal dari Syekh Siti Jenar.
Ajaran Syekh Siti Jenar
menurut Ki Lonthang Semarang
“Kalau menurut wejangan
guru saya, orang sembahyang itu siang malam tiada putusnya ia lakukan. Hai
Bonang ketahuilah keluarnya napasku menjadi puji. Maksudnya napasku menjadi
shalat. Karena tutur penglihatan dan pendengaran disuruh melepaskan dari
angan-angan, jadi kalau kamu shalat masih mengiaskan kelanggengan dalam alam
kematian ini, maka sesungguhnyalah kamu ini orang kafir.”
“Jika kamu bijaksana
mengatur tindakanmu, tanpa guna orang menyembah Rabbu’l ‘alamien, Tuhan
sekalian alam, sebab di dunia ini tidak ada Hyang Agung. Karena orang melekat
pada bangkai, meskipun dicat dilapisi emas, akhirnya membusuk juga, hancur
lebur bercampur dengan tanah. Bagaimana saya dapat bersolek?”
“Menurut wejangan Syekh
Siti Jenar, orang sembahyang tidak memperoleh apa-apa, baik di sana, maupun di
sini. Nyatanya kalau ia sakit, ia menjadi bingung. Jika tidur seperti budak,
disembarang tempat. Jika ia miskin, mohon agar menjadi kaya tidak dikabulkan.
Apalagi bila ia sakaratul maut, matanya membelalak tiada kerohan. Karena ia
segan meninggalkan dunia ini. Demikianlah wejangan guru saya yang bijaksana.”
“Umumnya santri dungu,
hanya berdzikir dalam keadaan kosong dari kenyataan yang sesungguhnya,
membayangkan adanya rupa Zat u’llahu, kemudian ada rupa dan inilah yang ia
anggap Hyang Widi.”
“Apakah ini bukan barang
sesat? Buktinya kalau ia memohon untuk menjadi orang kaya tidak diluluskan.
Sekalipun demikian saya disuruh meluhurkan Dzat’llahu yang rupanya ia lihat
waktu ia berdzikir, mengikuti syara’ sebagai syari’at, jika Jum’at ke mesjid
berlenggang mengangguk-angguk, memuji Pangeran yang sunyi senyap, bukan yang di
sana, bukan yang di sini.”
“Saya disuruh makbudullah, meluhurkan Tuhan itu, serta akan ditipu diangkat menjadi Wali, berkeliling menjual tutur, sambil mencari nasi gurih dengan lauknya ayam betina berbulu putih yang dimasak bumbu rujak pada selamatan meluhurkan Rasulullah. Ia makan sangat lahap, meskipun lagaknya seperti orang yang tidak suka makan. Hal itulah gambaran raja penipu!”
“Bonang, jangan berbuat yang demikian. Ketahuilah dunia ini alam kematian, sedang akhirat alam kehidupan yang langgeng tiada mengenal waktu. Barang siapa senang pada alam kematian ini, ia terjerat goda, terlekat pada surga dan neraka, menemui panas, sedih, haus, dan lapar”. .
“Saya disuruh makbudullah, meluhurkan Tuhan itu, serta akan ditipu diangkat menjadi Wali, berkeliling menjual tutur, sambil mencari nasi gurih dengan lauknya ayam betina berbulu putih yang dimasak bumbu rujak pada selamatan meluhurkan Rasulullah. Ia makan sangat lahap, meskipun lagaknya seperti orang yang tidak suka makan. Hal itulah gambaran raja penipu!”
“Bonang, jangan berbuat yang demikian. Ketahuilah dunia ini alam kematian, sedang akhirat alam kehidupan yang langgeng tiada mengenal waktu. Barang siapa senang pada alam kematian ini, ia terjerat goda, terlekat pada surga dan neraka, menemui panas, sedih, haus, dan lapar”. .
“Tiada usah merasa enggan
menerima petuahku yang tiga buah jumlahnya. Pertama janganlah hendaknya kamu
menjalankan penipuan yang keterlaluan, agar supaya kamu tidak ditertawakan
orang di kelak kemudian hari. Yang kedua, jangan kamu merusak barang-barang
peninggalan purba, misalnya : lontar naskah sastra yang indah-indah, tulisan
dan gambar-gambar pada batu candhi. Demikian pula kayu dan batu yang merupakan
peninggalan kebudayaan zaman dulu, jangan kamu hancur-leburkan. Ketahuilah bagi
suku Jawa sifat-sifat Hindu-Budha tidak dapat dihapus. Yang ketiga, jika kamu
setuju, mesjid ini sebaiknya kamu buang saja musnahkan dengan api. Saya
berbelas kasihan kepada keturunanmu, sebab tidak urung mereka menuruti kamu,
mabuk do’a, tersesat mabuk-tobat, berangan-angan lam yakunil.”
“…orang menyembah nama
yang tiada wujudnya, harus dicegah. Maka dari itu jangan kamu terus-teruskan,
sebab itu palsu.” .
Khotbah Perpisahan Sunan
Panggung
“Banyak orang yang gemar
dengan ksejatian, tapi karena belum pernah berguru maka semua itu dipahami
dalam konteks dualitas. Yang satu dianggap wjud lain. Sesungguhnya orang yng
melihat sepeti ini akan kecewa. Apalagi yang ditemui akan menjadi hilang.
Walaupun dia berkeliling mencari, ia tidak akan menemukan yang dicari. Padahal
yang dicari, sesungguhnya telah ditimang dan dipegang, bahkan sampai keberatan
membawanya. Dan karena belum tahu kesejatiannya, ciptanya tanpa guru
menyepelekan tulisan dan kesejatian Tuhan.”
“Walaupun dituturkan
sampai capai, ditunjukkan jalannya, sesungguhnya dia tidak memahaminya karena
ia hanya sibuk menghitung dosa besar dan kecil yg diketahuinya. Tentang hal
kufur kafir yang ditolaknya itu, bukti bahwa ia adalah orang yang masih mentah
pengetahuannya. Walaupun tidak pernah lupa sembahyang, puasanya dapat
dibangga-banggakan tanpa sela, tapi ia terjebak menaati yang sudah ditentukan
Tuhan.
Sembah puji dan puasa
yang ditekuni, membuat orang justru lupa akan sangkan paran (asal dan tujuan).
Karena itu, ia lebih konsentrasi melihat dosa besar-kecil yang dikhawatirkan,
dan ajaran kufur kafir yang dijauhi justru membuat bingung sikapnya. Tidak ada
dulu dinulu. Tidak merasa, tidak menyentuh. Tidak saling mendekati, sehingga
buta orang itu. Takdir dianggap tidak akan terjadi, salah-salah menganggap ada
dualisme antara Maha Pencipta dan Maha Memelihara.
Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati saja ketika masih bayi. Tidak terhitung tidak berfikir, banyak orang yang merasa menggeluti tata lafal, mengkaji sembahyang dan berletih-letih berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu mengantarkan. Padahal salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak yang menjadi berhala.”
Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati saja ketika masih bayi. Tidak terhitung tidak berfikir, banyak orang yang merasa menggeluti tata lafal, mengkaji sembahyang dan berletih-letih berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu mengantarkan. Padahal salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak yang menjadi berhala.”
“Pemikiran saya sejak
kecil, Islam tidak dengan sembahyang, Islam tidak dengan pakaian, Islam tidak
dengan waktu, Islam tidak dengan baju dan Islam tidak dengan bertapa. Dalam
pemikiran saya, yang dimaksud Islam tidak karena menolak atau menerima yang
halal atau haram.
Adapun yang dimaksud orang Islam itu, mulia wisesa jati, kemuliaan selamat sempurna sampai tempat tinggalnya besok. Seperti bulu selembar atau tepung segelintir, hangus tak tersisa. Kehidupan di dunia seperti itu keberadaannya.”
Adapun yang dimaksud orang Islam itu, mulia wisesa jati, kemuliaan selamat sempurna sampai tempat tinggalnya besok. Seperti bulu selembar atau tepung segelintir, hangus tak tersisa. Kehidupan di dunia seperti itu keberadaannya.”
“Manusia, sebelum tahu
makna Alif, akan menjadi berantakan….Alif menjadi panutan sebab uintuk semua
huruf, alif adalah yang pertama. Alif itu badan idlafi sebagai anugerah.
Dua-duanya bukan Allah. Alif merupakan takdir, sedangkan yang tidak bersatu
namanya alif-lapat. Sebelum itu jagat ciptaan-Nya sudah ada. Lalu alif menjadi
gantinya, yang memiliki wujud tunggal. Ya, tunggal rasa, tunggal wujud.
Ketunggalan ini harus dijaga betul sebab tidak ada yang mengaku tingkahnya.
ALif wujud adalah Yang Agung. Ia menjadi wujud mutlak yang merupakan kesejatian
rasa. Jenisnya ada lima, yaitu alif mata, wajah, niat jati, iman, syari’at.”
“Allah itu penjabarannya
adalah dzat Yang Maha Mulia dan Maha Suci. Allah itu sebenarnya tidak ada lain,
karena kamu itu Allah. Dan Allah semua yang ada ini, lahir batin kamu ini semua
tulisan merupakan ganti dari alif, Allah itulah adanya.”
“Alif penjabarannya
adalah permulaan pada penglihatan, melihat yang benar-benar melihat. Adapun
melihat Dzat itu, merupakan cermin ketunggalan sejati menurun kepada
kesejatianmu. Cahaya yang keluar, kepada otak keberadaan kita di dunia ini
merupakan cahaya yang terang benderang, itu memiliki seratus dua puluh tujuh
kejadian. Menjadi penglihatan dan pendengaran, napas yang tunggal, napas kehidupan
yang dinamakan Panji. Panji bayangan dzat yang mewujud pada kebanyakkan imam.
Semua menyebut dzikir sejati, laa ilaaha illallah.” .
Kematian di Mata Sunan
Geseng
“Banyak orang yang salah
menemui ajalnya. Mereka tersesat tidak menentu arahnya, pancaindera masih tetap
siap, segala kesenangan sudah ditahan, napas sudah tergulung dan angan-angan
sudah diikhlaskan, tetapi ketika lepas tirta nirmayanya belum mau. Maka ia
menemukan yang serba indah.”
“Dan ia dianggap manusia
yang luar biasa. Padahal sesungguhnya ia adalah orang yang tenggelam dalam
angan-angan yang menyesatkan dan tidak nyata. Budi dan daya hidupnya tidak mau
mati, ia masih senang di dunia ini dengan segala sesuatu yang hidup, masih
senang ia akan rasa dan pikirannya. Baginya hidup di dunia ini nikmat, itulah
pendapat manusia yang masih terpikat akan keduniawian, pendapat gelandangan
yang pergi ke mana-mana tidak menentu dan tidak tahu bahwa besok ia akan hidup
yang tiada kenal mati. Sesungguhnyalah dunia ini neraka.”
“Maka pendapat Kyai Siti
Jenar betul, saya setuju dan tuan benar-benar seorang mukmin yang berpendapat
tepat dan seyogyanya tuan jadi cermin, suri tauladan bagi orang-orang lain.
Tarkumasiwalahu (Arab asli : tarku ma siwa Allahu), di dunia ini hamba campur
dengan kholiqbta, hambanya di surga, khaliknya di neraka agung.”
Syari’at Palsu Para Wali
Menurut Ki Cantula
“Menurut ajaran guruku
Syekh Siti Jenar, di dunia ini alam kematian. Oleh karena itu, dunia yang sunyi
ini tidak ada Hyang Agung serta malaikat. Akan tetapi bila saya besok sudah ada
di alam kehidupan saya akan berjumpa dan kadang kala saya menjadi Allah. Nah,
di situ saya akan bersembahyang.”
“Jika sekarang saya
disuruh sholat di mesjid saya tidak mau, meskipun saya bukan orang kafir. Boleh
jadi saya orang terlantar akan Pangeran Tuhan. Kalau santri gundul, tidak
tahunya yang ada di sini atau di sana. Ia berpengangan kandhilullah, mabuk akan
Allah, buta lagi tuli.”
“Lain halnya dengan saya,
murid Syekh Siti Jenar. Saya tidak menghiraukan ujar para Wali, yang
mengkukuhkan Syari’at palsu, yang merugikan diri sendiri. Nah, Syekh Dumba,
pikirkanlah semua yang saya katakan ini. Dalam dadamu ada Al-Qur’an. Sesuai
atau tidak yang saya tuturkan itu, kanda pasti tahu.” .
Jawaban Ki Bisono Tentang
Semesta, Tuhan dan Roh
Ki Bisana menyanggupi
kemudian menjawab pertanyaan dari Sultan Demak:
“Pertanyaan pertama :
Pertanyaan, bahwa Allah menciptakan alam semesta itu adalah kebohongan belaka.
Sebab alam semesta itu barang baru, sedang Allah tidak membuat barang yang
berwujud menurut dalil : layatikbiyu hilamuhdil, artinya tiada berkehendak
menciptakan barang yang berwujud. Adapun terjadinya alam semesta ini ibaratnya
: drikumahiyati : artinya menemukan keadaan. Alam semesta ini : la awali.
Artinya tiada berawal. Panjang sekali kiranya kalau hamba menguraikan bahwa
alam semesta ini merupakan barang baru, berdasarkan yang ditulis dalam Kuran.”
“Pertanyaan yang kedua :
Paduka bertanya di mana rumah Hyang Widi. Hal itu bukan merupakan hal yang
sulit, sebab Allah sejiwa dengan semua zat. Zat wajibul wujud itulah tempat
tinggalnya, seumpamanya Zat tanahlah rumahnya. Hal ini panjang sekali kalau
hamba terangkan. Oleh karena itu hamba cukupkan sekian saja uraian hamba.”
“Selanjutnya pertanyaan
ketiga : berkurangnya nyawa siang malam, sampai habis ke manakah perginya nyawa
itu. Nah, itu sangat mudah untuk menjawabnya. Sebab nyawa tidak dapat
berkurang, maka nyawa itu bagaikan jasad , berupa gundukan, dapat aus, rusak
dimakan anai-anai. Hal inipun akan panjang sekali untuk hamba uraikan. Meskipun
hamba orang sudra asal desa, akan tetapi tata bahasa kawi hamba mengetahui
juga, baik bahasa biasa maupun yang dapat dinyanyikan. Lagu tembang sansekerta
pun hamba dapat menyanyikan juga dengan menguraikan arti kalimatnya, sekaligus
hamba bukan seorang empu atau pujangga, melainkan seorang yang hanya tahu
sedikit tentang ilmu.”
“Itu semua disebabkan
karena hamba berguru kepada Syekh Siti Jenar, di Krendhasawa, tekun mempelajari
kesusasteraan dan menuruti perintah guru yang bijaksana. Semua murid Syekh Siti
Jenar menjadi orang yang cakap, berkat kemampuan mereka untuk menerima ajaran
guru mereka sepenuh hati.”
“Adapun pertanyaan yang
keempat : paduka bertanya bagaimanakah rupa Yang Maha Suci itu. Kitab Ulumuddin
sudah memberitahukan : walahu lahir insan, wabatinul insani baitu-baytullahu
(Arab asli : wa Allahu dzahir al-insan, wabathin, al-insanu baytullahu),
artinya lahiriah manusia itulah rupa Hyang Widi. Batiniah manusia itulah rumah
Hyang Widi. Banyak sekali yang tertulis dalam Kitab Ulumuddin, sehingga apabila
hamba sampaikan kepada paduka, Kanjeng Pangeran Tembayat tentu bingung, karena
paduka tidak dapat menerima, bahkan mungkin paduka mengira bahwa hamba seorang
majenun. Demikianlah wejangan Syekh Siti Jenar yang telah hamba terima.”
“Guru hamba menguraikan asal-usul
manusia dengan jelas, mudah diterima oleh para siswa, sehingga mereka tidak
menjadi bingung. Diwejang pula tentang ilmu yang utama, yang menjelaskan
tentang dan kegunaan budi dalam alam kematian di dunia ini sampai alam
kehidupan di Akhirat. Uraiannya jelas dapat dilihat dengan mata dan dibuktikan
dengan nyata.”
“Dalam memberikan
pelajaran, guru hamba Syekh Siti Jenar, tiada memakai tirai selubung, tiada
pula memakai lambang-lambang. Semua penjelasan diberikan secara terbuka, apa
adanya dan tanpa mengharapkan apa-apa sedikitpun. Dengan demikian musnah segala
tipu muslihat, kepalsuan dan segala perbuatan yang dipergunakan untuk melakukan
kejahatan. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan para guru lainnya. Mereka
mengajarkan ilmunya secara diam-diam dan berbisik-bisik, seolah-olah menjual
sesuatu yang gaib, disertai dengan harapan untuk memperoleh sesuatu yang
menguntungkan untuk dirinya.”
“Hamba sudah berulang
kali berguru serta diwejang oleh para wali mu’min, diberitahu akan adanya
Muhammad sebagai Rosulullah serta Allah sebagai Pangeran hamba. Ajaran yang
dituntunkan menuntun serta membuat hamba menjadi bingung dan menurut pendapat
hamba ajaran mereka sukar dipahami, merawak-rambang tiada patokan yang dapat
dijadikan dasar atau pegangan. Ilmu Arab menjadi ilmu Budha, tetapi karena
tidak sesuai kemudian mereka mengambil dasar dan pegangan Kanjeng Nabi. Mereka
mematikan raga, merantau kemana-mana sambil menyiarkan agama. Padahal ilmu Arab
itu tiada kenal bertapa, kecuali berpuasa pada bulan Romadan, yang dilakukan
dengan mencegah makan, tiada berharap apapun.”
“Jadi jelas kalau para
wali itu masih manganut agama Budha, buktinya mereka masih sering
ketempat-tempat sunyi, gua-gua, hutan-hutan, gunung-gunung atau tepi samudera
dengan mengheningkan cipta, sebagai laku demi terciptanya keinginan mereka agar
dapat bertemu dengan Hyang Sukma. Itulah buktinya bahwa mereka masih dikuasai
setan ijajil. Menurut cerita Arab Ambiya, tiada orang yang dapat mencegah
sandang pangan serta tiada untuk kuasa berjaga mencegah tidur kecuali orang
Budha yang mensucikan dirinya dengan jalan demikian. Nah, silahkan memikirkan
apa yang hamba katakan, sebagai jawaban atas empat pertanyaan paduka.”.
Wasiat dan Ajaran Syekh
Amongraga
”Syekh Amongraga adalah
salah seorang pewaris ajaran Syekh Siti Jenar pada masa Sultan Agung
Hanyokusumo (1645). Mengenai rincian kehidupan dan ajaran Syekh Amongraga dapat
dibaca di serat Centini”.
Syekh Amongraga
mewasiatkan berbagai inti ajaran yang meliputi (Primbon Sabda Sasmaya; hlm.
24):
1. Rahayu ing Budhi
(selamat akhlak dan moral).
2. Mencegah dan
berlebihnya makanan.
3. Sedikit tidur.
4. Sabar dan tawakal
dalam hati.
5. Menerima segala
kehendak dan takdir Tuhan.
6. Selalu mensyukuri
takdir Tuhan.
7. Mengasihi fakir dan
miskin.
8. Menolong orang yang
kesusahan.
9. Memberi makan kepada
orang yang lapar.
10. Memberi pakaian
kepada orang yang telanjang.
11. Memberikan payung
kepada orang yang kehujanan.
12. Memberikan tudung
kepada orang yang kepanasan.
13. Memberikan minum
kepada orang yang haus.
14. Memberikan tongkat
penunjuk kepada orang yang buta.
15. Menunjukkan jalan
kepada orang yang tersesat.
16. Menyadarkan orang
yang lupa.
17. Membenarkan ilmu dan
laku orang yang salah.
18. Mengasihi dan
memuliakan tamu.
19. Memberikan maaf
kepada kesalahan dan dosa sanak-kandung, saudara, dan semua manusia.
20. Jangan merasa benar,
jangan merasa pintar dalam segala hal, jangan merasa memiliki, merasalah bahwa
semua itu hanya titipan dari Tuhan yang membuat bumi dan langit, jadi manusia
itu hanyalah sudarma (memanfaatkan dengan baik dengan tujuan dan cara yang baik
pula) saja. Pakailah budi, syukur, sabar, menerima, dan rela.
Ajaran Syekh Siti Jenar
Menurut Pangeran Panggung
“….Saya mencari ilmu
sejati yang berhubungan langsung dengan asal dan tujuan hidup, dan itu saya
pelajari melalui tanajjul tarki. Menurut saya , untuk mengharapkan hidayah
hanyalah bias didapat dengan kesejatian ilmu. Demi kesentausaan hati menggapai
gejolak jiwa, saya tidak ingin terjebak dalam syariat.”
“Jika saya terjebak dalam
syariat, maka seperti burung sudah bergerak, akan tetapi mendapatkan pikiran
yang salah. Karena perbuatan salah dalam syariat adalah pada kesalahpahaman
dalam memahami larangan. Bagi saya kesejatian ilmu itulah yang seharusnya
dicari dan disesuaikan dengan ilmu kehidupan. Kebanyakan manusia itu, jika
sudah sampai pada janji maka hatinya menjadi khawatir, wataknya selalu
was-was…senantiasa takut gagal….Alam dibawah kolong langit, diatas hamparan
bumi dan semua isi didalamnya hanyalah ciptaan Yang Esa, tidak ada keraguan.
Lahir batin harus bulat, mantap berpegang pada tekad.” (Serat Suluk Malang
Sumirang, Pupuh 1-2).
“Yang membuat kita paham
akan diri kita, Pertama tahu akan datang ajal, karena itu tahu jalan
kemuliaannya, Kedua, tahu darimana asalnya ada kita ini sesungguhnya, berasal
dari tidak ada. Kehendak-Nya pasti jadi, dan kejadian itu sendiri menjadi
misal. Wujud mustahil pertandanya sebagai cermin yang bersih merata keseluruh
alam. Yang pasti dzatnya kosong, sekali dan tidak ada lagi. Dan janganlah menyombongkan
diri, bersikaplah menerima jika belum berhasil. Semua itu kehendak Sang Maha
Pencipta. Sebagai makhluk ciptaan, manusia didunia ini hanya satu repotnya.
Yaitu tidak berwenang berkehendak, dan hanya pasrah kepada kehendak Allah.”
“Segala yang tercipta
terdiri dari jasad dan sukma, serta badan dan nyawa. Itulah sarana utama, yakni
cahaya, roh, dan jasad. Yang tidak tahu dua hal itu akan sangat menyesal. Hanya
satu ilmunya, melampaui Sang Utusan. Namun bagi yang ilmunya masih dangkal akan
mustahil mencapai kebenaran, dan manunggal dengan Allah. Dalam hidup ini, ia
tidak bisa mengaku diri sebagai Allah, Sukma Yang Maha Hidup. Kufur jika
menyebut diri sebagai Allah. Kufur juga jika menyamakan hidupnya dengan Hidup
Sang Sukma, karena sukmaitu adalah Allah.” .
” Waktu shalat merupakan
pilihan waktu yang sesungguhnya berangkat dari ilmu yang hebat. Mengertikah
Anda, mengapa shalat dzuhur empat raka’at? Itu disebabkan kita manusia
diciptakan dengan dua kaki dan dua tangan. Sedang shalat ‘Ashar empat raka’at
juga, adalah kejadian bersatunya dada dengan Telaga al-Kautsar dengan punggung
kanan dan kiri. Shalat Maghrib itu tiga raka’at, karena kita memiliki dua
lubang hidung dan satu lubang mulut. Adapun shalat ‘Isya’ enjadi empat raka’at
karena adanya dua telinga dan dua buah mata. Adapun shalat Subuh, mengapa dua
raka’at adalah perlambang dari kejadian badan dan roh kehidupan. Sedangkan
shalat tarawih adalah sunnah muakkad yang tidak boleh ditinggalkan dua
raka’atnya oleh yang melakukan, men-jadi perlambang tumbuhnya alis kanan dan
kiri.”
“Adapun waktu yang lima,
bahwa masing-masing berbeda-beda yang memilikinya. Shalat Subuh, yang memiliki
adalah Nabi Adam. Ketika diturunkan dari surga mulia, berpisah dengan istrinya
Hawa menjadi sedih karena tidak ada kawan. Lalu ada wahyu dari melalui malaikat
Jibril yang mengemban perintah Tuhan kepada Nabi Adam, “Terimalah cobaan Tuhan,
shalat Subuhlah dua raka’at”. Maka Nabi Adampun siap melaksanakannya. Ketika
Nabi Adam melaksanakan shalat Subuh pada pagi harinya, ketika salam. Telah
mendapati istrinya berada dibelakangnya, sambil menjawab salam. Shalat Dzuhur
dimaksudkan ketika Kanjeng Nabi Ibrahim pada zaman kuno mendapatkan cobaan
besar, dimasukkan ke dalam api hendak dihukum bakar. Ketika itu Nabi Ibrahim
mendapat wahyu ilahi, disuruh untuk melaksanakan shalat Dzuhur empat raka’at.
Nabi Ibrahim melaksanakan shalat, api padam seketika. Adapun shalat Ashar,
dimaksudkan ketika Nabi Yunus sedang naik perahu dimakan ikan besar. Nabi Yunus
merasakan kesusahan ketika berada di dalam perut ikan. Waktu itu terdapat wahyu
Ilahi, Nabi Yunus diperintahkan melaksanakan shalat Ashar empat raka’at. Nabi
Yunus segera melaksanakan, dan ikan itu tidak mematikannya. Malah ikan itu
mati, kemudian Nabi Yunus keluar dari perut ikan. Sedangkan shalat Maghrib pada
zaman kuno yang memulainya adalah Nabi Nuh. Ketika musibah banjir bandang
sejagat, Nabi Nuh bertaubat merasa bersalah. Dia diterima taubatnya disuruh
mengerjakan shalat. Kemudian Nabi Nuh melaksanakan shalat Maghrib tiga raka’at,
maka banjirpun surut seketika. Shalat ‘Isya sesungguhnya Nabi Isa yang
memulainya. Ketika kalah perang melawan Raja Harkiyah (Juga disebut Raja
Herodes, atasan Gubernur Pontius Pilatus) semua kaumnya bingung tidak tahu
utara, selatan, barat, timur dan tengah. Nabi Isa merasa susah, dan tidak lama
kemudian datang malaikat Jibril membawa wahyu dengan uluk salam. Nabi Isa
diperintahkan melaksanakan shalat ‘Isya. Nabi Isa menyanggupinya, dan semua
kaumnya mengikutinya, dan malaikat Jibril berkata, “Aku yang membalaskan kepada
Pendeta Balhum.” .
“Menurut pemahaman saya,
sesuai petunjuk Syekh Siti Jenar dahulu, anasir itu ada empat yang berupa
anasir batin dan ansir lahir. Pertama, anasir Gusti. Perlu dipahami dengan baik
dzat, sifat, asma dan af’al (perbuatan) kedudukannya dalam rasa. Dzat maksudnya
adalah bahwa diri manusia dan apapun yang kemerlap di dunia ini tidak ada yang
memiliki kecuali Tuhan Yang Maha Tinggi, yang besar atau yang kecil adalah
milik Allah semua. Ia tidak memiliki hidupnya sendiri. Hanya Allah yang Hidup,
yang Tunggal. Adapun sifat sesungguhnya segala wujud yang kelihatan yang besar
atau kecil, seisi bumi dan langit tidak ada yang memiliki hanya Allah Tuhan
Yang Maha Agung. Adapun asma sesungguhnya, nama semua ciptaan seluruh isi bumi
adalah milik Tuhan Allah Yang Maha Lebih Yang Maha Memiliki Nama. Sedangkan
artinya af’al adalah seluruh gerak dan perbuatan yang kelihatan dari seluruh
makhluk isi bumi ini adalah tidak lain dari perbuatan Allah Yang Maha Tinggi,
demikian maksud anasir Gusti.”
“Anasir roh, ada empat
perinciannya yang berwujud ilmu yang dinamai cahaya persaksian (nur syuhud).
Maksudnya adalah sebagai berikut : pertama, yang disebut wujud sesungguhnya
adalah hidup sejati atau amnusia sejati seperti pertempuran yang masih perawan
itulah yang dimaksud badarullah yang sebenarnya. Kedua, yang disebut ilmu
adalah pengetahuan batin yang menjadi nur atau cahaya kehidupan atau roh
idhafi, cahaya terang menyilaukan seperti bintang kejora. Ketiga, yang dimaksud
syuhud adalah kehendak batin kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah
kehendak batin tatkala memusatkan perhatian terutama ketika mengucapkan takbir.
Demikianlah penjelasan tentang anasir roh, percayalah kepada kecenderungan
hati.”
“Anasir manusia maksudnya
hendaklah dipahami bahwa manusia itu terdiri dari bumi, api, angin dan air.
Bumi itu menjadi jasad, api menjadi cahaya yang bersinar, angin menjadi napas
keluar masuk, air, menjadi darah. Keempatnya bergerak tarik menarik secara
ghaib. Demikianlah penjelasan saya tentang anasir. .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar